Minggu, 17 April 2022

Fitrah Diri Ber-Islam

FITRAH DIRI BER-ISLAM

[Ust. Dr. Yuzarion, S.Ag., S.Psi., M.Si.]*

 

Fitrah ber-Islam (beragama) dalam diri manusia merupakan naluri yang menggerakkan hatinya untuk melakukan perbuatan “suci” yang diilhami oleh Tuhan Yang Maha Esa. Fitrah manusia mempunyai sifat suci, yang dengan nalurinya tersebut ia secara terbuka menerima kehadiran Tuhan yang maha suci.

 

Berdasarkan Al-Quran surat Ar-Rum ayat 30: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; tetaplah atas fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti”.

 

Jelaslah, secara naluri manusia memiliki kesiapan untuk mengenal dan menyakini adanya Tuhan. Dengan kata lain, pengetahuan dan pengakuan terhadap tuhan sebenarnya telah tertanam secara kokoh dalam fitrah manusia.

 

Namun, perpaduan dengan jasad telah membuat berbagai kesibukan manusia untuk memenuhi berbagai tuntutan dan berbagai godaan serta tipu daya duniawi yang lain telah membuat pengetahuan dan pengakuan tersebut kadang- kadang terlengahkan, bahkan ada yang berbalik mengabaikan.

 

Sedikitnya terdapat 9 (sembilan) makna fitrah yang dikemukakan oleh para ulama:

 

Pertama fitrah berarti suci. Menurut Al Auza’i, fitrah berarti kesucian dalam jasmani dan rohani. sebagaimana pendapat Ismail Raji Al Faruqi yang mengatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan suci, bersih, dapat menyusun drama kehidupannya, tidak peduli dengan lingkungan keluarga, masyarakat macam apa pun ia dilahirkan.

 

Kedua fitrah berarti Islam. Abu Hurairah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan fitrah adalah agama. Pendapat ini berdasar pada hadits Nabi:

 

Bukankah aku telah menceritakan kepadamu pada sesuatu yang allah menceritakan kepadaku dalam kitabNya bahwa Allah menciptakan Adam dan anak cucunya berpotensi menjadi orang- orang muslim”.
Berangkat dari pemahaman hadits tersebut diatas, maka anak kecil yang meninggal ia akan masuk surga. Karena ia dilahirkan dengan din al islam, walaupun ia terlahir dari keluarga non muslim.

 

Ketiga fitrah berarti mengakui ke-Esaan Allah (Tauhid). Manusia lahir dengan membawa konsep tauhid, atau paling tidak berkecenderungan untuk meng-Esakan tuhannya dan berusaha terus mencari untuk mencapai ketauhidan tersebut. Jiwa tauhid adalah jiwa yang selaras dengan akal manusia.


Keempat fitrah dalam arti murni (Al Ikhlas). Manusia lahir dengan membawa berbagai sifat, salah satu diantaranya adalah kemurnian (keikhlasan) dalam menjalankan suatu aktivitas. Makna demikian didasarkan pada hadits nabi saw: “Tiga perkara yang menjadikan selamat, yaitu ikhlas berupa fitrah Allah dimana manusia diciptakan dariNya, shalat berupa agama dan taat berupa benteng penjagaan”.

 

Kelima fitrah berarti kondisi penciptaan manusia yang cenderung menerima kebenaran.

 

Keenam fitrah dalam arti potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi dan ma’rifatullah. Sebagaimana firman Allah surat yasin ayat 22: “Mengapa aku tidak menyembah (Allah) yang telah menciptakanku”.

 

Ketujuh fitrah dalam arti ketetapan atau kejadian asal manusia mengenai kebahagiaan dan kesesatannya. Manusia lahir dengan ketetapannya, apakah nanti ia akan menjadi orang bahagia atau menjadi orang yang sesat.


Kedelapan fitrah dalam arti tabiat alami manusia. Manusia lahir dengan membawa tabi’at (perwatakan) yang berbeda- beda. Watak tersebut dapat berupa jiwa pada anak atau hati sanubari yang dapat mengantarkan untuk sampai pada ma’rifatullah. Sebelum usia baligh, anak belum bisa membedakan antara iman dan kafir, karena wujud fitrah terdapat dalam qalb yang dapat mengantarkan pada pengenalan nilai kebenaran tanpa terhalang apa pun.

 

Kesembilan fitrah dalam arti Insting (Gharizah) dan wahyu dari Allah (Al Munazalah) Ibnu Taimiyah membagi fitrah dalam dua macam: [1] Fitrah Al Munazalah. Fitrah luar yang masuk dalam diri manusia. Fitrah ini dalam bentuk petunjuk al qur’an dan sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi Fitrah Al Gharizahah. [2]  Fitrah Al Gharizah Fitrah inheren dalam diri manusia yang memberi daya akal yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia. Semoga tulisan ini bermanfaat*

 

 

 

Penutup tulisan hari ini. Ya Allah, jangan Kau jadikan hati kami condong pada kesesatan sesudah Kau beri petunjuk pada kami, dan rahmatilah kami. Sungguh Kau Maha Pemberi karunia (Qs. Ali ‘Imran [3] 8).  

 

 

Kampus 2 UAD

Tanggal 16 Ramadhan 1443 H/ 17 April 2022 H.

 

Salam Abdoellah

*Dosen Magister Psikologi UAD Yogyakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar