Minggu, 10 April 2022

Diri yang Sabar

DIRI YANG SABAR

II [Ust. Dr. Yuzarion, S.Ag., S.Psi., M.Si.]* II

 

 

Jogja saat tulisan ini dirajut ulang sedang hujan yang cukup deras. Bersykur kami berada dalam satu mobil perjalanan pulang melayat (takziah) dari rumah teman ayah mertuan meninggal dunia beberapa hari yang lalu.

 

Pemandangan biasa akibat hujan deras, salah satu akan terjadi kemacetan di jalan-jalan. Pada sisi lain jalan bahagian kanan kami terjadi kemacetan yang cukup panjang.

 

Bermacet ria dijalan raya tentu sesuatu yang tidak diinginkan, semua berbersepakat perjalanan apapun bentuknya yang diinginkan tentu lancar tanpa halangan, namun relitanya kita selalu disuguhi kemacetan di jalan-jalan raya.

 

Salam satu penyebab kemacetan dari literasi psikologi yang dibaca diakibatkan oleh lemah kemampuan pengendalian diri. Fenomena psikologi sosial membuktikan, di jalan raya para pengendara kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat masih bermental penerabas.

 

Pengendara tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Senang merampas hak-hak pengguna jalan yang lain.

 

Begitu juga antrian di tempat-tempat umum, lembaga pemerintahan atau swasta tidak tertib. Senang mendahului orang lain dengan berbagai cara, datang terakhir, minta dilayani pertama, tidak mempertibangkan dan menghargai hak orang yang datang lebih awal.

 

Fenomena psikologis juga ini juga membuktikan, rendahnya kendali diri manusia, sehingga membuat orang gampang marah dan mudah tersinggung.

 

Senang melemparkan tanggung jawab dan menyalahkan orang lain. Bahkan dengan nada tinggi marah-marah dan memarahi yang lain. Padahal titik permasalahan ada pada dirinya.

 

Fenomena saat ibadah demikian juga, memperkuat rendahnya kendali diri. Sekelompok jemaah berkumpul di satu masjid, mengeluhkan bacaan ayat al-Quran yang dijaharkan imam sangat panjang.

 

Di saat shalat jumat, setelah imam selesai menjalankan tugas, membaca atau mengucapkan salam, menoleh ke sisi kanan dan kiri, sebagian Jemaah segera keluar meninggalkan tempat sujud atau duduk. Hal ini semakin memperkuat lemahnya dan hilangnya kendali diri.

 

Kenapa manusia kehilangan kendali diri?

 

Permasalahannya ada pada; pertama, banyak individu belum memahami dengan baik pengertian dan makna serta hakikat kendali diri, kedua, tidak ada tokoh sentral yang mendidikkan dan contoh dalam pengendalian diri, dan ketiga; lemahnya usaha melatih diri yang sabar (tidak ada usaha dalam mendidikkan kendali diri).

 

Lickona (2003) menjelasan kendali diri adalah kemampuan mengendalikan diri sendiri, mengatur perilaku, mengatur marah, pengendalian nafsu maupun selera sensual, dan mencari kenikmatan secara sah.

 

Kendali diri dapat juga diartikan kemampuan untuk mengarahkan perilaku pada standar ideal, norma, moral, etika dan agama, ini sejalan dengan pendapat Baumeister dkk, (2007).

 

Pengertian kendali diri oleh Lickona, Baumeister dkk, relefan dengan pengertian sabar dalam Psikologi Islam. Kendali diri adalah sabar. Sabar adalah kemampuan menahan diri, mengendalikan diri, dan mengontrol diri. Sabar memang mudah diucapkan, sulid diaplikasikan.

 

Kendali diri dalam al-Quran, dijelaskan pada surat Ali-Imran ayat 200: “Yaa ayyuhallazii na aamanush biru, wa shabiru, waraabithu, wattaqullaaha la’allakum tuflihuun”, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah, kokohkanlah kesabaranmu, dan tetaplah dalam kesabaran itu (tetaplah dalam negeri itu). Bertaqwalah kepada Allah SWT, agar kamu memperoleh keberuntungan”.

 

Kendali diri pada ayat tersebut adalah sabar, sabar adalah kemampuan kendali diri, kontrol diri, dan menahan diri. Sabar salah satu sifat Allah SWT dalam asmaul husna. Sifat ini menjadi ciri seorang muslim. Hadits Rasulullah SAW, “Asshabbru minal iimaan”, sabar itu setengah (sebagian dari iman).

 

Berdasarkan uraian terdahulu, penulis merumuskan diri yang sabar adalah kemampuan menahan diri, mengontrol diri, dan mengendalikan diri lahir dari diri yang kuat, akal yang sehat, hati yang bersih, dan jiwa yan suci bersumberkan dari cahaya iman berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullaah SAW, sebagai bukti dalamnya iman seseorang dan sempurnanya taqwa. Inilah diri yang sabar.

 

Dalam sudut pandang kelompok psikolog behaviorisme, tiga kemampuan diri (menahan, mengontrol, dan mengendalikan) merupakan usaha keras dan sangaja mengontrol, dan mengendalikan pikiran (kognitif), perasaan (emosi), dan perilaku (sikap) dalam memilih dan memilah dalam mencapai tujuan.

 

Jadi, berdasarkan pengertian dan pandangan kelompok psikolog behaviorisme tersebut, hakikat sabar adalah usaha sengaja dan kerja keras individu menahan, mengontrol, dan mengendalikan pikiran, perasaan, dan perilaku bersumber pada al-Qur’an dan Hadits Rasulullaah SAW.

 

Apabila ada yang mengganggu kualitas kesabaran, kita dapat melakukan; memperbanyak istighfar, menyempurnakan zikir dan memperbanyaknya, selalu dalam keadaan berwhudhu, memperbanyak membaca al-Qur’an dan memahaminya.

 

Terakhir, apabila kualitas kesabaran terganggu lebih lanjut dan serius, maka bersegeralah shalat (apabila belum menunaikan shalat wajib segerakanlah, atau shalat sunah lainnya).

 

Hal ini sesuai dengan tuntunan al-Quran, pada surat al-Baqarah [2]  153, artinya “Hai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan kepada Allah SWT dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. Semoga kita dapat menjadi diri yang sabar*.

 

 

Penutup tulisan hari ini. Ya Allah, limpahkanlah kesabaran pada kami, kokohkan pendirian kami, serta tolonglah kami untuk mengalahkan orangorang kafir (Qs. AlBaqarah [2] 250)🤲*

 

 

 

Kampung Pilahan Kotagede Jogjakarta

Tanggal 09 Ramadhan 1443 H/ 10 April 2022 H.

 

Salam Abdoellah

*Dosen Psikologi Islam UAD Yogyakarta

 

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar