DIRI YANG
SABAR
II [Ust. Dr. Yuzarion, S.Ag.,
S.Psi., M.Si.]* II
Jogja saat tulisan
ini dirajut ulang sedang hujan yang cukup deras. Bersykur kami berada dalam
satu mobil perjalanan pulang melayat (takziah) dari rumah teman ayah mertuan meninggal
dunia beberapa hari yang lalu.
Pemandangan
biasa akibat hujan deras, salah satu akan terjadi kemacetan di jalan-jalan.
Pada sisi lain jalan bahagian kanan kami terjadi kemacetan yang cukup panjang.
Bermacet
ria dijalan raya tentu sesuatu yang tidak diinginkan, semua berbersepakat
perjalanan apapun bentuknya yang diinginkan tentu lancar tanpa halangan, namun
relitanya kita selalu disuguhi kemacetan di jalan-jalan raya.
Salam
satu penyebab kemacetan dari literasi psikologi yang dibaca diakibatkan oleh lemah
kemampuan pengendalian diri. Fenomena
psikologi
sosial membuktikan,
di jalan raya para
pengendara kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat masih bermental penerabas.
Pengendara tidak
mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Senang merampas hak-hak pengguna jalan yang
lain.
Begitu
juga antrian di tempat-tempat umum, lembaga
pemerintahan atau swasta tidak tertib. Senang mendahului orang lain dengan
berbagai cara, datang terakhir, minta dilayani pertama, tidak mempertibangkan
dan menghargai hak orang yang datang lebih awal.
Fenomena psikologis
juga ini
juga membuktikan,
rendahnya kendali diri manusia, sehingga membuat orang gampang marah dan mudah
tersinggung.
Senang melemparkan
tanggung jawab dan menyalahkan orang lain. Bahkan dengan nada tinggi
marah-marah dan memarahi yang lain. Padahal titik permasalahan ada pada dirinya.
Fenomena saat ibadah demikian juga, memperkuat rendahnya kendali
diri. Sekelompok jemaah berkumpul di satu masjid, mengeluhkan bacaan ayat
al-Quran yang dijaharkan imam sangat panjang.
Di saat shalat
jumat, setelah imam selesai menjalankan tugas, membaca atau mengucapkan salam,
menoleh ke sisi kanan dan kiri, sebagian Jemaah segera keluar meninggalkan
tempat sujud atau duduk. Hal ini semakin memperkuat lemahnya dan hilangnya
kendali diri.
Kenapa manusia
kehilangan kendali diri?
Permasalahannya
ada pada; pertama, banyak individu belum memahami dengan baik pengertian dan makna
serta hakikat kendali diri, kedua, tidak ada tokoh sentral yang mendidikkan dan
contoh dalam pengendalian diri, dan ketiga; lemahnya usaha
melatih diri yang sabar (tidak
ada usaha dalam mendidikkan kendali diri).
Lickona (2003) menjelasan
kendali diri adalah kemampuan mengendalikan diri sendiri, mengatur perilaku,
mengatur marah, pengendalian nafsu maupun selera sensual, dan mencari
kenikmatan secara sah.
Kendali diri dapat
juga diartikan kemampuan untuk mengarahkan perilaku pada standar ideal, norma,
moral, etika dan agama, ini sejalan dengan pendapat Baumeister dkk, (2007).
Pengertian kendali
diri oleh Lickona, Baumeister dkk, relefan dengan pengertian sabar dalam
Psikologi Islam. Kendali diri adalah sabar. Sabar adalah kemampuan menahan diri,
mengendalikan diri, dan mengontrol diri. Sabar memang mudah diucapkan, sulid
diaplikasikan.
Kendali diri dalam
al-Quran, dijelaskan pada surat Ali-Imran ayat 200: “Yaa ayyuhallazii na aamanush biru, wa shabiru, waraabithu,
wattaqullaaha la’allakum tuflihuun”, “Hai orang-orang yang beriman,
bersabarlah, kokohkanlah kesabaranmu, dan tetaplah dalam kesabaran itu
(tetaplah dalam negeri itu). Bertaqwalah kepada Allah SWT, agar kamu memperoleh
keberuntungan”.
Kendali diri pada
ayat tersebut adalah sabar, sabar adalah kemampuan kendali diri, kontrol diri,
dan menahan diri. Sabar
salah satu sifat Allah SWT dalam asmaul
husna. Sifat ini menjadi ciri seorang muslim. Hadits Rasulullah SAW, “Asshabbru minal iimaan”, sabar itu
setengah (sebagian dari iman).
Berdasarkan uraian
terdahulu, penulis merumuskan diri
yang sabar adalah kemampuan
menahan diri, mengontrol diri, dan mengendalikan diri lahir dari diri
yang kuat, akal yang sehat, hati yang bersih, dan jiwa yan suci bersumberkan dari cahaya iman
berdasarkan al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullaah SAW, sebagai bukti
dalamnya iman seseorang dan sempurnanya taqwa. Inilah diri yang sabar.
Dalam sudut
pandang kelompok psikolog behaviorisme, tiga kemampuan diri (menahan, mengontrol,
dan mengendalikan) merupakan usaha keras dan sangaja mengontrol, dan mengendalikan
pikiran (kognitif), perasaan (emosi), dan perilaku (sikap) dalam memilih dan memilah
dalam mencapai tujuan.
Jadi, berdasarkan pengertian
dan pandangan kelompok psikolog behaviorisme tersebut, hakikat sabar adalah usaha
sengaja dan kerja keras individu menahan, mengontrol, dan mengendalikan
pikiran, perasaan, dan perilaku bersumber pada al-Qur’an dan Hadits Rasulullaah
SAW.
Apabila ada yang mengganggu
kualitas kesabaran, kita dapat
melakukan; memperbanyak istighfar, menyempurnakan zikir dan memperbanyaknya, selalu
dalam keadaan berwhudhu, memperbanyak membaca al-Qur’an dan memahaminya.
Terakhir, apabila kualitas kesabaran
terganggu lebih lanjut dan serius, maka bersegeralah shalat (apabila belum
menunaikan shalat wajib segerakanlah, atau shalat sunah lainnya).
Hal ini sesuai dengan tuntunan al-Quran, pada surat al-Baqarah [2] 153, artinya “Hai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan kepada
Allah SWT dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang
sabar”. Semoga kita dapat menjadi
diri yang sabar*.
Penutup tulisan hari ini. Ya Allah,
limpahkanlah kesabaran pada kami, kokohkan pendirian kami, serta tolonglah kami
untuk mengalahkan orang‐orang kafir (Qs. Al‐Baqarah [2] 250)🤲*
Kampung Pilahan Kotagede Jogjakarta
Tanggal 09 Ramadhan 1443 H/ 10 April 2022 H.
Salam Abdoellah
*Dosen Psikologi Islam UAD Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar