DIRI YANG MASIH
BERJARAK
[Ust.
Dr. Yuzarion, S.Ag., S.Psi., M.Si.]*
Jumat satu hari menjelang ramadhan 1443 ini, saya bertugas
menjadi khatib jumat di satu masjid, di masjid tersebut saya telah empat tahun bertugas
sebagai khatib dan imam.
Khutbah dua bulan sebelumnya, pada saat datang saya lihat
simbol/ tanda syaf-syaf shalat berjarak telah dibuka. Rupa saat itu merupakan
jumatan pertama di masjid tersebut kembali syaf-syaf shalat berjemaah
dirapatkan. Pengurus atau takmir masjid telah bersepakat membuka pembatas syaf
shalat berjarak dan jemaah mulai diminta merapatkan syaf-syaf shalat mereka.
Saat khutbah dimulai spontan kesadaran qalbiah saya, hadir dan membangunkan
literasi kesadaran ilahiyah untuk segera mendorong jemaah jumat, berikhtiar
kembali merapakan syaf-syaf shalat sesuai al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai standar
rapatnya syaf-syaf shalat berjemaah.
Lahir dari lisan saya seketika membangkitkan kesadaran
ilahiyah diri dan jemaah jumat untuk senantiasa berikhtiar merapatkan syaf-syaf
shalat. Materi ini sebenarnya tidak sejalan dengan materi khutbah yang
dipersiapkan sebelumnya.
Dalam khutbah tersebut saya sapaikan kepada jemaah, era syaf-syaf
shalat berjarak telah berkhir. Syaf-syaf shalat berjarak satu sampai dua meter bermashab WHO telah dibatalkan secara hukum
(al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah SAW).
Terkait syaf-syaf shalat berjarak ini, apapun alasanya saya
menyakini merenggangkan syaf atau membuat syaf-syaf shalat berjarak merupakan
satu hal yang keliru adanya (Marilah Bertobat!).
Walaupun akal dan pengetahuan yang ada membenarkan. Akal dan
pengetahuan yang membenarkan ini belum tertuntun sepenuhnya oleh Iman dalam
ber-Islam kaffah. Seperti ber-Imanya Umar bin Khatab RA dan Khubaid bin Abdi RA dalam ber-Islam kaffah. Khubaid
bin Abdi RA adalah syahid pertama yang dimutilasi oleh orang-orang kafir qurais.
Kembali pada jumat satu hari menjelang ramadhan 1443 ini. Pada
saat itu diawal ramadhan, materi khutbah yang disampaikan terkait dengan menyambut
ramadhan. Mari kita persiapkan memasuki ramadhan dengan memperkuat diri (sehat
fisik), menata akal agar selalu berpikir sehat, menjaga hati agar selalu bersih
dan memelihata jiwa agar selalu suci.
Setelah rangkaian ibadah sahat jumatan selesai, masjid sudah
sepi, hanya ada beberapa orang pengurus masjid sedang menghitung infak dan
beberapa petugas kebersihan masjid bersih-bersih, mereka juga menggulung tikar
yang tidak terpakai shalat berjemaah lima waktu.
Pada serambi masjid ada seorang jemaah berdiri, usia sudah
cukup tua, mungki telah berkepala enam, rupanya beliau sedang menunggu saya. Saat
itu sekilas saya melihat lahir dan bathin beliau sedang gekisah (galau). Saya
senyum, bersalaman dan menyapa beliau.
Saat kami masih bersalaman, beliau langsung bertanya dengan
membuka percakapan: “Stadz apakah saya boleh bertanya” sahut beliau.
Spontan saya jawab: Boleh Bapak In Syaa Allah. Kemudian
beliau melanjutkan pertanyaan: Tadz, kenapa ketika malaikat Jibril AS menyampaikan
wahyu pertama pada baginda Rasulullah SAW lansung memegang dan memeluk
Rasulullah SAW? (Saya tertegun dan mencoba menangkap pesan terdalam dari jiwa
terdalam yang muncul dan pandangan mata berbinar-binar atas kegelisan dirinya, tangan
saya masih tetap posisi mersalaman dengan beliau).
Spontan juga saya merespon dan menjawab: “Jiwa Rasulullah SAW
dan malaikat Jibril AS telah bersatu Bapak. Hati keduanya sangat bersih.
Makanya Rasulullah SAW merasakan kedamaian pada bathinnya dan menemukan ketenangan
pada hati dan jiwanya (sakinah), malaikat Jibril AS juga seperti itu.
Seketika saya peluk beliau, serasa saya memeluk ayah (Abak)
saya yang telah meninggal 25 tahun yang lalu. Saya merasakan, beliau merasakan kedamaian
dan menemukan ketengan bathin seketika saat kami berpelukan.
Saya sampaikan: “Bapak, saya memeluk Bapak karena hati dan
jiwa kita telah disatukan Allah SWT”. Bebera saat kami sama-sama terdiam, tanpa
disadari masing-masing kami juga berderai air mata.
Setelah itu kami masih melanjutkan diskusi. Layaknya diskusi
antara anak dengan keriasauan seorang ayah yang hatinya sangat terpaut pada
masjid dan selalu shalat berjemaah.
Tanz sahut beliau, Bapak ingin dan merindukan shalat
berjemaah dengan suasana seperti dulu, ketika kami berjemaah di masjid ini. Bapak
rindu sekali berjemaah seperti berjemaah sahabat-sahabat Nabi bersama Rasulullaah
SAW.
Saat itu saya berusaha menjadi pendengar yang baik saja. Sahabat-sahabat
Nabi berjemaah bersama Rasulullaah SAW berjemaah dengan syaf-syaf shalat yang
sangat lurus, bahu antara sahabat-sahabat Rasulullaah SAW saling dirapatkan dan
mata kaki mereka saling bertemu.
Sebagai penguat silaturrahim setelah shalat, ketika mereka
bertemu dan saling bertegur sapa, para sahabat Rasulullah SAW mereka saling
bersalaman sambil bersyalawat mengucapak “Allaahumma shali’ala Muhammad Wa’ala
ali Muhammad”.
Tadz dulu pernah ada syaf-syaf shalat berjemaah rapat seperti
yang dilakukan sahabat-sahabat Nabi. Seperi itu yang kita amalkan di masjid ini.
Hari ini telah hilang karena C19. Bapak sangat rindu bisa syaf-syaf shalat
berjemaah rapat seperti dulu.
Sambil menarik nafas
yang cukup panjang atas kerinduan beliau dengan rapatnya syaf-syaf shalat berjemaah
yang benar-benar kembali dirapatkan dan lurus, sesuai Sunnah Rasulullah SAW.
Bahkan juga kerinduan beliau yang amat dalam untuk saling bersilaturrahiim dengan semangat bersalaman,
yang diwariskan Rasulullah SAW. Saling bersalaman bersyalawat kepada Rasulullah
SAW.
Membatin saya seketika saat itu, pandemi C19 telah habis.
Kenapa syaf-syaf shalat kita masih berjarak?
Memang benar syaf-syaf shalat di masjid-masjid kita saat ini masih
berjarak, berjarak karena sajadah-sajadah dibawa sebagian jemaah terlalu lebar.
Kondisi seperti semakin mempersulit syaf-syaf shalat untuk dirapatkan. Tambah lagi diri yang masih berjarak, disamping
syaf-syaf shalat berjarak karena sajadah yang digunakan jemaah amat lebar
menyebatkan diri yang akan selalu berjarak.
Diri yang masih berjarak akibat hati dan jiwa yang belum
bersatu. Hati kita masih sulit bersatu karena
belum bersih dan jiwa-jiwa kita masih bertumpuk dosa. Kalau seperti ini sampai
kapanpun syaf-syaf shalat kita tidak
akan pernah rapat dan lurus.
Marilah kita bangkit, momentum pertengahan ramadhan ini dimanfaatkan
maksimal untuk membersihkan hati dan menyucikan jiwa. Semoga kedepan syaf-syaf
shalat berjemaah kita lurus dan rapat sesuai Sunnah Rasulullah SAW. Ambillah
pelajaran dari hadits-hadits berikut:
Luruskanlah
shaf kalian. Sejajarkan pundak-pundak
kalian. Tutuplah celah. Janganlah kalian membiarkan ada celah untuk
syaitan. Barangsiapa yang menyambung shaf, maka Allâh k akan menyambung
hubungan dengannya dan barangsiapa memutus shaf maka Allâh akan
memutuskan hubungan dengannya [HR. Abu Dawud Nomor 666].
Anas
RA. Berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf termasuk
kesempurnaan shalat.” [HR.
Bukhari, Nomor 723 dan Muslim, Nomor 433].
Hendaknya
kalian meluruskan shaf kalian atau tidak Allah akan membuat wajah kalian
berselisih.” [HR.
Bukhari, Nomor 717 dan Muslim, Nomor 436].
Imam
Nawawi rahimahullah juga berkata, “Tidak lurusnya shaf akan
menimbulkan permusuhan dan kebencian, serta membuat hati kalian berselisih.” [Syarh Shahih Muslim (4) Nomor157].*
Penutup tulisan hari ini. Ya Allah, jangan Kau jadikan
hati kami condong pada kesesatan sesudah Kau beri petunjuk pada kami, dan
rahmatilah kami. Sungguh Kau Maha Pemberi karunia (Qs. Ali ‘Imran [3] 8).
Kampus 2 UAD
Tanggal 14 Ramadhan 1443 H/ 15 April 2022 H.
Salam Abdoellah
*Dosen Magister Psikologi UAD
Yogyakarta
Semoga diri saja yang berjarak dan tidak dengan batin. Semoga Allah selalu memberikan keberkahan kepada Ust🙏🙏
BalasHapus