Oleh:
I Wayan Tirka, Yuzarion dan Dedy Haryono
Pendahuluan
Hipotesis
dalam pengertian yang lebih umum diartikan sebagai jawaban sementara
terhadap masalah yang masih bersifat praduga karena masih harus dibuktikan
kebenarannya. Tetapi tentunya tidak semua pernyataan atau dugaan disebut
dengan hipotesis. Dugaan atau pernyataan disebut sebagai hipotesis bila perntayaan tersebut memiliki kekuatan dalam memprediksi kebenaran yang
dibangun melalui hasil pengamamatan, dan hukum-hukum yang telah dihimpun sebelumnya,
pernyataan
tersebut memiliki kekuatan untuk mendekati kebenaran. Dengan pendekatan logic,
hipotesis mempunyai kandungan tentatif terhadap sebuah pernyataan ilmiah. Kandungan tentantif ini yang kemudian memberikan ruang untuk mengikuti
alur ilmiah atau yang disebut dengan pengujian hipotesis.
Karena
hipotesis merupakan hasil dari berfikir logis yang mengikuti runutan dan arah
tertentu, maka hipotesis harus diuji
dan dikembangkan melalui alur ilmiah atau metode ilmiah. Sejauh mana pernyataan
hipotesis tentang sesuatu dapat menerangkan fenomena spesifik yang teramati,
dengan kenyataan realitas yang ada.
Hipotesis
Berganda
Dalam lapangan ilmu pengetahuan,
tidak ada pernyataan yang tak dapat diuji dan diamati, karena ilmu pengetahuan
adalah prosedur penemuan dan evaluasi hipotesis yang dapat digunakan untuk
menjelaskan mengapa hal-hal seperti itu dapat terjadi. Inilah
pembatas yang membedakan dengan pernyataan agama (misalnya) yang
memiliki sifat menjadi pernyataan mutlak. Karena lapangan pengetahuan ilmiah
mewajibkan pada sesuatu yang bisa di uji atau empiris, tetapi agama lebih
menekankan pada keyakinan (beliefs).
Penjelasan ilmiah adalah proposal tentatif, yang ditawarkan dengan harapan
dapat menangkap akurasi terbaik pada materi tetapi tunduk pada evaluasi,
modifikasi, atau bahkan menjungkir-balikkan
ketika ada lawan hipotesis berbeda yang memiliki bukti yang lebih kuat.
Kehandalan dapat terjadi ketika melalui rangkaian pengujian dan hipotesis
semakin menunjukkan nilai prediksi terhadap realitas dengan kuat (testability). Termasuk
kemungkinan juga membandingkan hipotesis yang berbeda dan terlibat dalam penjelasan bersaing dari
sebuah peristiwa yang sama.
Hipotesis berganda
berangkat dari
asumsi bahwa sebuah nilai prediksi memiliki kekuatan terhadap peristiwa maupun
situasi yang lain. Misalnya tentang pernyataan tentang tingkat pendidikan orang
tua terhadap motivasi belajar anak. Dalam aspek yang lain mungkin hipotesis
tentang tingkat pendidikan orang tua memilliki daya untuk memprediktif situasi
lain, misalnya terhadap kecerdasan emosional anak. Ragamnya kekuatan prediksi
terhadap situasi yang lain akan semakin menunjukkan akan nilai kekuatan sebuah
hipotesis. Walaupun disini bukan kemudian satu cara untuk mendekati
pernyataan universal. Karena pernyataan universal dalam sebuah hipotesis
ditujukan pada situasi tertentu yang berlaku universal.
Ada
beberapa kriteria bagi hipotesis untuk di evaluasi sebagai bentuk pernyataan
ilmiah dan memiliki keandalan dalam pernyataannya:
1.
Relevansi. Mengandung nilai premis dari sebuah argumen deduktif
yang kesimpulannya valid dan sesuai untuk dijelaskan. Struktur hipotesis
memiliki relevansi terhadap kenyataan dan yang dipandang paling kuat dan
mungkin.
2. Testability. Dapat
dibuktikan atau telah dibuktikan dengan metode ilmiah, sehingga hipotesis dapat
didudukkan sebagai yang telah konfimasi
atau disconfirmation. Testability merupakan salah satu langkah bahwa sebuah
hipotesis telah melalui falsifikasi. Bahkan melalui falsifikasi sebuah
hipotesis dapat dijungkir balikkan menjadi sebuah pernyatan yang tidak ilmiah,
karena diakibatkan dari hasil pembuktian yang kemudian tidak mendukung sebuah
hipotesis. Ukuran dari sejauh mana hipotesis telah berpredikat sebagai yang testability bahwa pernyataan telah
dibuktikan dan sesuai serta semakin
terasing dari pernyataan yang metafisis. Selain bahwa testability yang
kemudian memberikan peringkat nilai kekokohan pada sebuah hipotesis.
3. Compatibility. Nilai sebuah Hipotesis harus sesuai dan memenuhi prinsip urutan alamiah.
Sebuah hipotesis berdiri dan terus tumbuh untuk menyempurnakan dan memperluas pohon pengetahuan. Banyaknya
penyelidikan ilmiah yang berangkat dari berbagai rangkaian hipotesis. Menjadi
satu pertimbangan dalam meng-compability
dalam sebuah hipotesis baru. Walaupun bentuk ini tidak kemudian menjadi mutlak,
karena mungkin dan bisa saja sebuah hipotesis yang baru dapat mengurangi atau
meruntuhkan hipotesis yang lama jika memiliki tingkat signifikansi yang lebih
tinggi atau yang lebih sesuai ketika kesimpulannya memiliki bukti yang lebih
kuat. Revolusi ilmiah dapat terjadi, tanpa harus patuh pada
nilai compability.
4. Prediktif. Sebuah
hipotesis yang baik adalah bukan hanya suatu cara untuk menjelaskan
peristiwa-peristiwa tunggal, tetapi akan berlaku untuk banyak jenis situasi,
sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa asumsi ini yang kemudian
melahirkan adanya hipotesis berganda atau multiple hypotesis. Seperti
pernyataan Vygotsky tentang lingkungan dan bantuan orang dewasa. Perkembangan
kognitif dipengaruhi multiple aspek yaitu lingkungan dan orang dewasa. Kekuatan
prediktif ini menggambarkan bahwa peristiwa tunggal tidak hanya diakibatkan
oleh peristiwa tunggal. Tetapi ada kekuatan lain yang memprediksi bahwa
peristiwa tunggal dipengaruhi oleh beberapa situasi yang lain (jamak).
5. Simplicity. Hipotesis
merupakan sebuah pernyataan yang memiliki kerumitan dalam struktur pernyataan.
Sebuah pernyataan memiliki kesederhanaan dan kekuatan yang mendalam. Istilah
yang sering digunakan oleh filosuf adalah ”keanggunan yang mendalam
dan martabat” dengan menggunakan karakter yang sederhana. Sebuah hipotesis dinyatakan dengan
kesederhaanya dan dapat dipahami, disamping didalamnya mengandung kekuatan yang
luar biasa yaitu usaha prediksi. Sebab-akibat dapat dinyatakan dengan jelas
sebagai sebuah pernyataan universal terhadap peristiwa-peristiwa tertentu.
Revolusi Ilmiah
Ilmu yang
matang selalu memiliki paradigma dan penalaran ilmiah yang berjalan menurut
standar-standar ilmiah. Paradigma adalah cara pandang terhadap dunia dan
contoh-contoh prestasi atau praktik ilmiah konkret. Paradigma ini membimbing
kenyataan ilmiah dalam masa ilmu normal, di mana para ilmuwan herus menjabarkan
paradigma secara rinci dan mendalam. Para ilmuwan tidak berskap kritis terhadap
paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Dalam aktivitas ilmiah bisa
dijumpai banyak fenomena yang tidak dapat dijelaskan oleh paradigma atau teori
yang membimbing aktivitas ilmiah para ilmuwan bersangkutan. Fenomena-fenomena
yang tidak dapat dipecahkan oleh paradigma yang membimbing para ilmuwan
melakukan aktivitas ilmiah tersebut disebut dengan anomali.
Bila terjadi
semakin banyak anomali, berarti muncul krisis, disini paradigma yang digunakan perlu dipertanyakan,
atau paradigma tersebut perlu diganti dengan paradigma baru. Bila sudah terjadi
demikian, para ilmuwan sudah keluar dari sain normal. Untuk keluar dari krisis
para ilmuwan dapat meninggalkan cara-cara ilmiah lama, atau menemukan paradigma
tandingan untuk mengantisipasi anomali-anmoli yang dihadapi. Apabila para ilmuwan masih tetap bersikukuh
mempertahankan paradigma lama, berarti ilmu masih tetap pada tatanan normal,
tetapi, bila para ilmuwan menemukan dan menggantikan dengan paradigma
tandingan, maka muncul apa yang disebut revolusi ilmiah.
Sain yang
normal melakukan kegiatan pemecahan masalah melalui kegiatan yangat kumulatif,
walaupn berhasil dalam tujuannya, namun satu produk standar dari kegiatan
ilmiah ini tidak ada. Sain yang normal tidak mampu menunjukkan
kebaharuan-kebaharuan fakta atau teori, dan jika berhasil tetap tidak menemukan
hal-hal tersebut. Pada kegiatan sain
normal, banyak dietemukan kemacetan-kemacetan, kriteria yang sama sekali tidak
tergantung pada apakah kemacetan itu diikuti oleh revolusi. Jika dihadapkan kepada anomali atau
kepada krisis, para ilmuwan mengambil sikap yang bebeda terhadap
paradigma-paradigma yang sudah ada, dan sifat-sifat kegiatan ilmiah yang
dilakukan berbeda dengan paradigma-paradigma yang ada. Bertambah banyaknya
artikulasi yang bersaingan, kesediaan untuk mencoba apapun pengungkapan ketidak
puasan yang nyata, semuanya merupakan gejala transisi dari riset yang normal
kepada riset istimewa.
Pada saat
sain normal, para ilmuwan tetap menggunakan paradigma lama untuk melakukan
aktivitas ilmiah, sehingga perkembangan sain berjalan secara komulatif dan
evolusioner. Untuk memecahkan anomali-anomali pada sain normal para ilmuwan
seharusnya meninggalkan paradigma lama, dan menggantikan dengan paradigma yang
baru. Dalam hal ini sain tidak lagi berkembang secara kumulatif-evolusioner,
tetapi perkembangan sain menuju nonkumulatif-revolusioner.
Revolusi
ilmiah merupakan istilah yang dikemukakan oleh Thomas Kuhn dalam tulisan yang
terbit tahun 1970 The Structure of Scientific Revolutions. Dalam buku ini Kunh membahas
peranan paradigma, untuk menjelaskan perkembangan ilmu yang nonkumulatif, secara revolusioner, seperti teori Opticks
karya Newton, yang mengajarkan bahwa cahaya adalah partikel yang sangat halus. Transformasi-transformasi
paradigma optika ini adalah revolusi
sain, dan transisi yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang
lain melalui revolusi adalah pola perkembangan yang biasa bagi sain yang telah
matang.
Kuhn mengkritisi pendekatan Karl Popper pada filsafat
ilmu pengetahuan, Kuhn menganggap bahwa Popper menjungkir-balikkan
kenyataan dengan terlebih dahulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui
jalan hipotesis, baru disusul
dengan upaya falsifikasi. Menurut Kuhn perkembangan ilmu
pengetahuan harus berguru pada sejarah ilmu. Karl Popper justru menempatkan sejarah ilmu pengetahuan
sebagai contoh untuk menjustifikasi teorinya.
Pendapat Popper dibantah oleh Kuhn dengan mengajukan
sejarah ilmu sebagai titik awal segala penyelidikan. Terjadinya
perubahan-perubahan mendasar dalam sejarah ilmu justru tidak pernah terjadi berdasarkan
upaya empiris untuk membuktikan salah satu teori atau sistem, melainkan melalui
revolusi-revolusi ilmiah. Singkat kata, Kuhn berpendapat kemajuan ilmiah
pertama-tama bersifat revolusioner bukan maju secara kumulatif.
Istilah populer yang lekat dengan Kuhn adalah
paradigma. Istilah itu sendiri tidak dijelaskan secara ajeg oleh Kuhn sehingga
dalam sejumlah penjelasannya acapkali berubah konteks dan arti. Paradigma
sendiri muncul terkait dengan kajian sains normal. Kuhn berpendapat sains
normal merupakan praktik ilmiah nyata yang diterima publik, baik mencakup
dalil, teori, penerapan, dan instrumentasi. Sains normal menyajikan model-model
yang melahirkan tradisi-tradisi tertentu dari riset ilmiah. Dengan kata lain,
sains normal adalah kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun
praktik-praktik ilmiah dalam periode tertentu.
Paradigma membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains
normal, di mana ilmuwan berkesempatan mengembangkan penyelidikan secara rinci
dan mendalam. Dalam tahap ini ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma
yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Namun, selama menjalankan riset ilmuwan
bisa menjumpai pelbagai fenomena yang yang tak sepenuhnya sama. Hal itu disebut
anomali. Bila anomali itu kian menumpuk, maka bisa menimbulkan krisis.
Dalam krisis paradigma mulai dipertanyakan oleh ilmuwan dan mulai keluar dari sains normal. Untuk
mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali pada cara-cara ilmiah yang lama sambil
memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang
bisa memecahkan masalah dan membimbing penelitian berikutnya. Bila pilihan
terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi ilmiah.
Pandangan Kuhn telah menarik perhatian kita
pada fakta bahwa para filosuf ilmu umumnya tidak menghiraukan persoalan
hermeneutik yang pokok, seperti persoalan tentang apa yang sebenarnya dilakukan
oleh seorang ilmuwan. Mereka biasanya malah sibuk dengan urusan tentang
kriteria mana saja yang perlu, agar ilmu dapat dianggap representasi murni
realitas atau keyakinan yang telah teruji. Kuhn mengingatkan kita bahwa ada
soal penelitian dalam rasionalitas ilmiah itu yang sebetulnya sangat ambigu.
Baginya rasionalitas ilmiah itu akhirnya bukanlah
semata-mata perkara induksi atau deduksi atau juga rasionalitas demonstratif yang
berkulminasi pada representasi teoritis kenyataan obyektif melainkan lebih dari
perkara interpretasi dan persuasi yang cenderung bersifat subyektif. Oleh
karena itu segala yang dikatakan oleh ilmu tentang dunia dan kenyataan
sebetulnya erat terkait pada paradigma tertentu yang digunakan oleh ilmuwannya.
Cara ilmuwan memandang dunia menentukan dunia macam apa yang dilihatnya. Jadi
pengetahuan ilmiah sama sekali bukanlah jiplakan atau foto kopi realitas,
melainkan realitas hasil konstruksi manusia.
Revolusi
ilmiah merupakan episode perkembangan sain yang nonkumulatif, di mana di
dalamnya paradigma lama diganti seluruhnya dengan paradigma baru yang
bertentangan. Mengapa perubahan paradigma disebut revolusi? Kunh memebri contoh,
revolusi politik dibuka oleh kesadaran yang semakin tumbuh, yang sering
terbatas pada suatu segmen dari masyarakat politik, bahwa lembaga-lembaga
politik yang ada tidak lagi memadai untuk menghadapi masalah-masalah yang
dikemukakan oleh lingkungan yang sebagian diciptakan oleh lembaga-lembaga itu.
Dengan cara yang sama revolusi sain terjadi karena kesadaran para ilmuwan semakin tumbuh, bahwa paradigma yang ada
tidak lagi berfungsi secara memadai dalam eksplorasi suatu aspek dari alam,
yang sebelumnya paradigma itu sendiri yang menunjukkan jalan bagi eksplorasi
tersebut. Mungkin dalam pendidikan di Indonesia pernah terjadi perubhan
paradigma, dari siswa mempejari menjadi penguasaan kompetensi. Apakah ini dapat
disebut revolusi dalam pendidikan?
Revolusi
politik dan revolusi sain dapat kita lihat keduanya menunjukkan kesejajaran,
keduanya dimulai dengan munculnya kesadaran akan adanya malfungsi yang dapat
menyebabkan krisis, dimana hal itu menyebabkan timbulnya revolusi.
Teori Kuhn memiliki dampak yang sangat luas dalam
bidang-bidang keilmuan yang beraneka ragam. Selama lebih dari dua dekade
gagasan Kuhn tentang paradigma menjadi bahan diskusi dalam wacana intelektual,
sejumlah kajian kritis, baik yang mendukung maupun yang menentang, berkembang
dalam berbagai kancah disiplin keilmuan, hampir semua cabang keilmuan
menyampaikan respon lewat berbagai versi yang dianggap cukup mewakili nuansa
pemikiran yang selama ini berkembang dalam disiplin ilmu masing-masing.
Paradigma sebagai kosakata, menjadi wacana tersendiri, baik pada tingkat teori
maupun praksis. Paradigma seolah menjadi sesuatu yang hidup, tumbuh dan
berkembang sedemikian rupa, sehingga penggagasnya sendiri seperti kebingungan
untuk menjinakkannya.
Penutup
Perkembangan ilmu menurut Kuhn
harus belajar dari sejarah ilmu, dan menggunakan paradigma sebagai pedoman
untuk mengembangkan ilmu. Kuhn mengkritik Poper, dimana Poper justru menempatkan sejarah ilmu
pengetahuan sebagai contoh untuk menjustifikasi teorinya. Perkembangan
ilmu menurut Kuhn sebaiknya berjalan nonkumulatif dan revolusioner.
Revolusi ilmiah terjadi karena
semakin banyak terjadinya anomali, yaitu keadaan atau permasalahan yang tidak
dapat diantisipasi atau dipecahkan dengan paraadigma lama. Untuk memecahkan
anomali tersebut ilmuwan dituntu berpaling atau meninggalkan paradigma lama,
dan menggantikannya dengan paradigma baru.
Dan bahwa paradigma yang mendasari konstruksi itu
diterima oleh komunitas para ilmuwan, bukan karena ilmuwan itu tahu bahwa itu
benar, melainkan karena mereka percaya bahwa itu yang terbaik, yang paling
menjanjikan bila digunakan dalam riset-riset selanjutnya. Akhirnya, walau
bagaimanapun penilaian orang, Kuhn telah berjasa besar terutama dalam mendobrak
citra filsafat ilmu sebagai logika ilmu dan mengangkat citra bahwa ilmu adalah
suatu kenyataan yang punya kebenaran seakan-akan sui-generis, obyektif.
Pandangan Kuhn mempunyai implikasi yang sangat luas
dalam bidang-bidang keilmuan yang beraneka ragam. Selama lebih dari dua dekade
gagasan Kuhn tentang paradigma menjadi bahan diskusi dalam wacana intelektual,
sejumlah kajian kritis, baik yang mendukung maupun yang menentang, berkembang
dalam berbagai kancah disiplin keilmuan, hampir semua cabang keilmuan
menyampaikan respon lewat berbagai versi yang dianggap cukup mewakili nuansa
pemikiran yang selama ini berkembang dalam disiplin ilmu masing-masing.
Paradigma sebagai kosa kata, menjadi wacana
tersendiri, baik pada level teori maupun praksis. Kata tersebut seolah menjadi
sesuatu yang hidup, tumbuh dan berkembang sedemikian rupa, sehingga
penggagasnya sendiri seperti kebingungan untuk menjinakkannya.
DAFTAR RUJUKAN
A,
MacIntyre, 1967. Popper, Karl
Raimund The Encyclopedia of Philosophy, Edited by Paul Edwards,(New
York: The Macmillan Company and The Free Press.
Noeng
Muhadjir. 2001. Filsafat Ilmu,
Positivisme, PostPositivesme, dan PostModernisme. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Konrad
Kebung. 2011. Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Jakarta: Prestasi Pustaka.
Khun,
Thomas S. 1970. The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The Univesity
of Chicago Press.
Popper,
K.R. 1959. The Logic Scientific Discovery.
New York: Basic Books.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar