Rabu, 26 Desember 2012

ATTENTION DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDERS




Attention Deficit Hyperactivity Disorders
A.      Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa setiap aspek perilaku manusia menjadi objek perhatian bagi manusia lainnya. Oleh karena itu setiap orang berupaya dalam kehidupannya berperilaku sesuai dengan tuntutan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku. Jika orang mampu berperilaku dan bersikap sesuai dengan tuntutan nilai-nilai dan norma yang ada, maka ia akan mudah melakukan aktivitas rutinnya, mudah bergaul dengan masyarakat, serta dapat berkomunikasi dengan orang lain di luar dirinya dengan baik, efektif dan efesien.
Tidak semua orang dapat berperilaku dan bersikap sebagaimana harapan masyarakat pada umumnya, ada beberapa orang yang tidak mampu berperilaku seperti yang diharapkan orang lain pada umumnya. Salah satu diantaranya adalah anak yang mengalami gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (Attention Deficit Hyperactivity Disorders). Anak ini sering disebut juga dengan anak hiperaktif atau anak yang mengalami gangguan perilaku.
Anak hiperaktif ini mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian (inattention), tidak sabaran (impulsif) baik secara fisik maupun secara verbal, serta hiperaktivitas yang tinggi (terlalu banyak gerakan yang tidak perlu) (Marlina, 2007). Secara umum, anak yang mengalami gangguan perilaku ini memiliki tingkat kecerdasan yang normal, namun karena gangguan tersebut mereka menunjukkan underachiever (prestasi yang dicapai berada di bawah kemampuan yang sebenarnya dimiliki). Hal ini disebabkan mereka sulit untuk memusatkan perhatian, berkonsentrasi, mematuhi aturan sekolah, tetap duduk di kelas (tidak berpindah-pindah tempat duduk), dan sebagainya. Di samping anak ADHD mengalami underachiever, perilaku hiperaktif juga berpengaruh terhadap relasi sosialnya, mereka dijauhi, disisihkan, diabaikan bahkan ditolak teman sebayanya (Marlina, 2007). Kemungkinan lain yang dihadapi anak hiperaktif adalah pemberian label negatif oleh guru, menyebabkan mereka stres dengan lingkungan sekolah sehingga mereka banyak yang drop-out dari sekolah (Shepherd, 2010).
Reif & Heimburge (1996) menyatakan bahwa banyak masalah yang dihadapi guru dan anak dalam proses pembelajaran di kelas. masalah yang bersumber dari anak, antara lain sering keluar masuk kelas, sering berpindah tempat duduk, suka mengoceh sendiri dan tidak relevan dengan hal yang sedang dibicarakan, mengganggu teman, berbicara kotor, tidak mematuhi peraturan sekolah, dan sebagainya. Sedangkan masalah dari guru adalah mengalami kesulitan mengelola perilaku anak dalam belajar. Apa yang disuruh guru tidak dilakukan oleh anak, bahkan cenderung membangkang pada guru. Akibatnya guru kewalahan menghadapi anak.
Jika dilihat dalam proses pembelajaran anak ADHD, guru lebih banyak menggunakan metode penugasan dan drill serta belum diterapkannya teknik dan pendekatan yang mampu mengeliminir perilaku hiperaktif anak tersebut. Anak hanya diberi tugas-tugas akademik, dilatih namun perilakunya tidak diperhatikan. Di samping itu guru juga lebih menekankan kepada penguasaan materi pada anak tanpa membenahi perilaku hiperaktif anak. Anak diberi materi pelajaran, di sisi lain anak berperilaku yang kurang diharapkan guru, akibatnya anak sering dimarahi, diberi label sebagai anak pembangkang, anak nakal, dan sebagainya.
Upaya penanganan terhadap anak-anak ADHD dari waktu ke waktu meningkat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Peningkatan tersebut dapat dilihat minimal dari dua sisi, yaitu yaitu dari segi preventif dan kuratif atau korektif. Upaya-upaya tersebut antara lain dilakukan dengan deteksi dini terhadap gangguan anak, intervensi dini terhadap kemungkinan yang akan terjadi pada perkembangan anak. Dari sisi kuratif penanganan perilaku anak-anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas diarahkan untuk menyembuhkan dan memperbaiki perilaku-perilaku menyimpang yang terjadi pada anak. Dari sisi ini, penanganan anak dilakukan melalui berbagai pendekatan, baik medis maupun pedagogis-psikologis. Salah satu pendekatan pedagogis-psikologis adalah dengan metode applied behavior analysis.
Metode Applied Behavior Analysis (disingkat dengan ABA) sering digunakan untuk penanganan anak-anak berkebutuhan khusus salah satunya pada anak-anak dengan ADHD. Metode ABA sangat representatif bagi penanggulangan perilaku anak dengan ADHD karena memiliki prinsip yang terukur, terarah dan sistematis; juga variasi yang diajarkan luas; sehingga dapat meningkatkan keterampilan komunikasi, sosial, motorik halus, dan motorik kasar. Metode ABA ini sering dipakai karena keberhasilannya mudah diamati dan mudah diterapkan ke perilaku lain manakala ada kemiripan karakteristik perilaku yang akan diubah dengan perilaku yang telah berhasil diubah. Metode ABA merupakan bagian dari modifikasi perilaku yang secara mendasar bertujuan dalam dua hal. Pertama, mendukung dan mempromosikan perilaku-perilaku anak yang adaptif. Perilaku adaptif yang dimaksud adalah perilaku yang diterima oleh lingkungan dan bermanfaat bagi perkembangan diri anak itu sendiri. Kedua, modifikasi perilaku bertujuan menekan atau meniadakan munculnya perilaku anak yang tidak adaptif. Perilaku tidak adaptif adalah perilaku yang cenderung tidak diterima oleh lingkungan dan akan merugikan anak itu sendiri.
B.       Perumusan Masalah
Berdasarkan pendahuluan di atas, maka diajukan permasalahan sebagai berikut :
1.      Apakah ADHD itu?
2.      Apakah metode Applied Behavior Analysis itu?
3.      Bagaimana dinamika penerapan metode Applied Behavior Analysis pada anak-anak dengan ADHD?
4.      Bagaimana cara mengevaluasi metode Applied Behavior Analysis yang telah dilakukan?
C.      Attention Deficit Hyperactivity Disorders (ADHD)
1.        Pengertian ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorders)
Istilah ADHD dalam bahasa Indonesia disebut GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas). Orang awam sering menyebutnya dengan hiperaktif saja. ADHD merupakan perilaku yang berkembang secara tidak sempurna dan timbul pada anak-anak dan orang dewasa. Perilaku yang dimaksud berupa kekurangmampuan dalam hal menaruh perhatian, pengontrolan gerak hati serta pengendalian motorik. Keadaan tersebut menjadi masalah bagi anak-anak (penderita) terutama dalam memusatkan perhatian terhadap pelajaran sehingga akan menimbulkan kesukaran di dalam kelas. Penyandang ADHD sering digambarkan sebagai “You don’t mean to do the things you do to and you don’t do the things you mean to do”. Anak ADHD bermasalah dengan waktu, sangat terganggu oleh rangsangan dari luar dan tidak mampu memusatkan perhatian.
Santrock (2002) menyatakan ADHD sebagai suatu kelainan berupa rentang perhatian yang pendek, perhatian mudah beralih dan tingkat kegiatan fisik yang tinggi. Dengan arti kata, anak-anak penyandang kelainan ini tidak menaruh perhatian dan memiliki kesulitan memusatkan perhatian pada apa yang sedang dilakukannya. Taylor (1992) menyatakan ADHD sebagai pola perilaku seseorang yang menunjukkan sikap tidak mau diam, tidak menaruh perhatian dan impulsif. Sedangkan menurut Frances dan Harold (dalam DSM IV) membatasi ADHD sebagai ”..... is a persistent pattern of inattention and/or hyperactivity-impulsivity that is more frequent and severe than is typically observed in individuals at a comparable level of development. ADHD merupakan pola perilaku seseorang yang ditunjukkan dengan ketidakmampuan memperhatikan, impulsif-hiperaktif yang lebih banyak frekuensinya jika dibandingkan dengan teman sebayanya. Quay & Werry (1986) memberikan batasan ADHD sebagai berikut :
”..... Hyperactivity or ADHD is a significant deficiency in age appropriate attention, impulse control and rule-governed behavior (compliance, self-control, and problem-solving) that arises infancy rearly childhood is significantly pervasive in nature and is not the direct result of general intellectual retardation, severe language delay or emotional disturbance or gross sensory or motor impairment.
Jika diterjemahkan secara bebas, hiperaktivitas atau ADHD merupakan gangguan secara signifikan dalam memperhatikan, kontrol rangsangan dan perilaku yang sesuai aturan yang muncul sejak kanak-kanak sehingga menyebabkan mereka terganggu secara emosi, motorik kasar, dan keterlambatan berbahasa.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ADHD merupakan :
a.       Pola perilaku yang dilakukan oleh anak.
b.      Ketidakmampuan untuk berkonsentrasi atau memusatkan perhatian.
c.       Aktivitas yang berlebihan.
d.      Tidak mampu mengontrol perilaku.
e.       Aktivitas yang dilakukan tidak tepat dan tidak pantas, aktivitas tersebut dilakukan terus menerus sepanjang hari.
2.         Gejala-Gejala dan Karakteristik ADHD
Berdasarkan DSM IV (dalam Westwood, 1995) gejala ADHD terdiri atas 3 gejala, yaitu :
a.      Inatensivitas
Yakni tidak ada perhatian atau tidak menyimak. Penderita mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian terhadap sesuatu yang sedang dihadapinya. Ciri-cirinya adalah :
1)      Gagal menyimak hal yang rinci.
2)      Kesulitan bertahan pada satu aktivitas.
3)      Tidak mendengarkan sewaktu diajak berbicara.
4)      Sering tidak mengikuti instruksi.
5)      Kesulitan mengatur jadual tugas dan kegiatan.
6)      Sering menghindar dari tugas yang memerlukan perhatian lama.
7)      Sering kehilangan barang yang dibutuhkan untuk tugas.
8)      Sering beralih perhatian oleh stimulus dari luar.
9)      Sering pelupa dalam kegiatan sehari-hari.
b.      Impulsivitas
Yaitu kemampuan untuk mengontrol perilaku yang lebih mengutamakan untuk menuruti dorongan hati (tidak sabaran). Impulsif tersebut berupa impulsif motorik dan impulsif verbal atau kognitif, dengan ciri-ciri berikut.
1)      Sering memberi jawaban sebelum pertanyaan selesai.
2)      Sering mengalami kesulitan menunggu giliran.
3)      Sering memotong atau menyela orang lain.
4)      Sembrono, melakukan tindakan berbahaya tanpa pikir panjang.
5)      Sering berteriak di kelas.
6)      Tidak sabaran.
7)      Usil, suka mengganggu siswa lain.
8)      Permintaannya harus segera dipenuhi.
9)      Mudah frustrasi dan putus asa.
c.       Hiperaktivitas
Tidak bisa diam, yaitu perilaku yang mempunyai kecenderungan melakukan suatu aktivitas berlebihan, baik motorik maupun verbal, dengan ciri-ciri:
1)      Sering menggerakkan kaki atau tangan dan sering menggeliat.
2)      Sering meninggalkan tempat duduk di kelas.
3)      Sering berlari dan memanjat.
4)      Mengalami kesulitan melakukan kegiatan dengan tenang.
5)      Sering bergerak seolah diatur oleh motor penggerak.
6)      Sering berbicara berlebihan.
Flick (1998) menyatakan karakteristik anak ADHD yaitu : a) konsentrasi rendah, kurang memperhatikan; b) mengganggu; c) melamun; d) koordinasi motorik rendah; e) pasif, tidak memiliki inisiatif; f) gelisah, tidak tenang; g) gagal dalam menyelesaikan tugas; h) malas; i) impulsif; j) hiperaktif; k) tidak menarik dan membosankan; dan l) mengantuk. Sedangkan Farnham & Diggory (1994) mengemukakan ciri-ciri ADHD:
a.       Sangat responsif terhadap rangsang
b.      Mengalami fiksasi (”kemandegan” dalam perkembangan), yakni perkembangan berhenti pada satu tahapan dan terlihat adanya perilaku patologisnya seperti mengganggu teman dan sebagainya.
c.       Disinhibition, yakni aktivitas motorik yang terus menerus dinampakkan sebagai akibat dari hiperaktivitas.
d.      Dissociation, tidak mampu atau tidak dapat berpikir komprehensif, cara berpikir tidak terintegrasi sehingga aktivitasnya bervariasi.
Karakteristik ADHD juga dikemukakan Soerais (1994) yaitu:
a.       Memfokuskan terhadap hal-hal yang tidak perlu.
b.      Sulit membedakan antara suara dan pusat rangsangan.
c.       Tidak mampu bereaksi secara reflek, merencanakan atau memonitor reaksi, memikir berat, memecahkan masalah, menghambat perilaku yang tidak baik.
d.      Lemah dalam memodulasi aktivitas, gelisah dan resah, gerakan motorik yang tidak tertuju, hipoaktif (pada beberapa kasus).
e.       Sulit mencapai kepuasan atau kemantapan, selalu berkeinginan, tidak tenang, suka menjerit dan merengek, rewel (irritability).
f.       Lemah terhadap respon sanjungan atau hukuman.
g.      Mudah lelah, sulit untuk tetap tegar dan giat, sering menguap.
h.      Sulit tidur di malam hari.
i.        Sulit menyelesaikan tugas.
j.        Sulit bergaul, kurang perhatian.
k.      Sulit mengembangkan minta, mainan dan keterampilan yang disukai.
l.        Disfungsi perkembangan, lambat maturasi syaraf.
Perbedaan jenis kelamin juga menentukan peluang perilaku hiperaktif. Anak laki-laki mempunyai kemungkinan 3 atau 4 kali lebih besar berperilaku hiperaktif dibanding anak perempuan. Kemungkinan tersebut terjadi karena anak perempuan sifat agresifnya tidak begitu berkembang. Selain itu anak laki-laki lebih mudah berperilaku agresif dibandingkan anak perempuan. Santrock (2002) membagi perilaku aktif yang berlebih menjadi :
a.         Overaktivitas
Overaktivitas adalah perilaku tidak mau diam, yang disebabkan oleh himpunan energi yang berlebihan, yang merupakan suatu tanda bahwa anak tersebut sehat, cerdas, dan penuh semangat. Dalam waktu sesaat overaktivitas dapat dialami oleh anak-anak yang keaktifannya normal, kejadian ini disebabkan adanya ketegangan yang dialami anak.
b.        Hiperaktivitas
Hiperaktivitas adalah perilaku yang terjadi seperti perilaku overaktivitas, tetapi disertai tindakan yang tidak terarah dan berkepanjangan.
c.         Sindrom Hiperkinetik
Sindrom hiperkinetik adalah perilaku seperti pada hiperaktivitas yang parah, sering disertai dengan kelambatan dalam perkembangan psikologis, misalnya sifat kikuk dan kesulitan dalam bicara (speech delay).
Namun, hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa tidak semua gerakan fisik yang berlebihan merupakan hiperaktif, misalnya anak-anak usia 2 atau 3 tahun biasanya sangat aktif. Perilaku ini wajar karena dalam usia tersebut anak suka bereksplorasi, yaitu rasa ingin tahu yang cukup besar. Namun demikian, menurut Osman (2002), jika gerakan anak yang berlebih tersebut jauh lebih banyak dengan anak seusianya maka yang perlu diperhatikan adalah :
a.         Gerakan anak hiperaktif tidak terarah, tanpa tujuan dan tidak sesuai dengan situasi yang dihadapi. Biasanya mereka terus bergerak kesana kemari tanpa tujuan yang pasti, seolah-olah ada motor penggerak yang ada dalam dirinya.
b.        Anak tersebut sulit untuk memusatkan perhatian pada satu hal sehingga sering gagal dalam menyelesaikan tugasnya. 
Tanda-tanda tersebut merupakan gejala primer, di samping itu terdapat tanda-tanda lain yang dinamakan gejala sekunder, yang meliputi :
a.         Yang bersangkutan memiliki harga diri yang rendah.
b.        Mengalami kesulitan akademik.
c.         Menderita kecemasan atau mempunyai toleransi yang rendah terhadap frustrasi.
d.        Menderita disleksia.
e.         Temperamennya tinggi (sering marah besar tidak sesuai dengan stimulus).
f.         Suasana hati sering labil.
g.        Berperilaku sering tidak menghargai hak-hak orang lain dan tidak mengindahkan norma-norma sosial yang berlaku di lingkungan masyarakat (Taylor, 2000).
Dalam membahas karakteristik ADHD di atas, ada 3 istilah yang sering muncul yakni, ciri-ciri primer, ciri-ciri sekunder, dan ciri-ciri khusus. Ciri-ciri primer merupakan karakteristik pokok anak ADHD yaitu 1) inatensivitas: tidak mampu memberikan perhatian, 2) impulsivitas: tidak sabaran, dan 3) hiperaktivitas. Sedangkan ciri-ciri sekunder merupakan akibat dari ciri-ciri pokok, yaitu 1) agresif, 2) gagal dalam kegiatan akademik, 3) hubungan dengan teman sebaya kurang baik, 4) koordinasi motorik kurang baik, 5) dan kurang disiplin. Ciri-ciri khusus merupakan karakteristik khusus yang melekat pada anak ADHD yaitu: 1) hiperaktif, 2) tidak dapat berpikir berat, 3) sulit tidur, dan sebagainya.
3.        Tipe-tipe ADHD
Para ahli membuat penggolongan ADHD dengan asumsi yang tidak sama, secara umum ada 4 dasar penggolongan anak ADHD, yaitu : (1) penggolongan berdasarkan gejala-gejala perilaku, (2) penggolongan berdasarkan jenis kelainan perilaku, (3) penggolongan berdasarkan penyebab, dan (4) penggolongan berdasarkan berat ringannya penyimpangan perilaku. Berikut ini akan dijelaskan satu persatu penggolongan tersebut.
a.        Penggolongan Berdasarkan Gejala-Gejala Perilaku
Klasifikasi dari American Psychiatric Association (APA) yang dikemukakan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV (DSM IV), menggolongkan perilaku ADHD dalam behavior disorder, karena itu APA menyebut gangguan perilaku tersebut dengan ADHD. DSM IV menggolongkan ADHD pada 3 tipe yaitu :
1)        Predominantly Inattentive (Kecenderungan Kurang Perhatian)
Anak dinyatakan termasuk dalam tipe ini jika terdapat paling tidak ada 6 gejala inattention atau lebih. Ciri-ciri tipe inattentive dikemukakan oleh Alonzo (1996) yakni :
Inattention. This classification results from behaviours such as inattention to detail, careless mistakes in life activities such as schoolwork, ADHD difficulty in sustaining attention and listening, incompletion of assigned task, organizational skill deficits, losing and misplacing materials, being easily distracted, avoiding tasks requiring sustained effort and forgetfulness.
Jika diterjemahkan secara bebas, ADHD yang digolongkan inattentive memiliki ciri-ciri yaitu : (a) sembarangan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, seperti tugas-tugas sekolah sehingga sering melakukan kesalahan; (b) kesulitan dalam memberikan perhatian atau mendengarkan; (c) tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan; (d) minimnya keterampilan organisasional; (e) sering kehilangan dan salah menempatkan sesuatu benda; (f) mudah terganggu oleh stimulus dari luar; (g) menghindari tugas-tugas yang membutuhkan upaya; dan (h) sering pelupa.
2)        Predominantly Hyperactive-Impulsive Type (Kecenderungan Dominasi Hiperaktif-Impulsif)
Alonzo (1996) menyatakan anak yang tergolong tipe ini memiliki 6 gejala atau lebih yang terdapat pada karakteristik hiperaktif-impulsif, yaitu:
Hyperactivity. This classification results from behaviours such as being fidgety, leaving assigned areas, running about excessively, difficulty engaging or playing activities quietly, appearing to be in constant emotion, and talking excessively.
Impulsivity. Blurting out answers, difficulty awaiting turn, and interrupting and intruding on others characterize this category.
Hiperaktivitas. Perilaku ini ditandai dengan: gelisah, meninggalkan tempat duduk, lari-lari berlebihan, sulit melakukan aktivitas yang menuntut untuk diam, bicara berlebihan, gerakan yang dilakukan konstan. Impulsif. Ditandai dengan menyela pembicaraan orang lain, sulit menunggu giliran, berkata dan memberikan jawaban tanpa berpikir lebih dahulu.
3)        Combined Type (Tipe Kombinasi)
Tipe ini ditemukan pada ciri-ciri tipe hiperaktif-inattentif dan ciri-ciri hiperaktif-impulsif. Kriteria diagnostik untuk menetapkan tipe kombinasi ini menggunakan kriteria DSM IV dalam American Psychiatric Association (APA), yaitu :
1)      Dapat menggunakan kriteria (a) dan (b) atau dapat juga keduanya.
(a)      Enam gejala inattention, atau tidak ada menyimak atau tidak ada perhatian berlangsung paling sedikit 6 bulan, dengan gejala-gejala sebagai berikut :
(1)     Gagal menyimak hal yang rinci.
(2)     Kesulitan bertahan pada satu aktivitas.
(3)     Tidak mendengarkan sewaktu diajak berbicara.
(4)     Sering tidak mengikuti instruksi.
(5)     Kesulitan mengatur jadual tugas dan kegiatan.
(6)     Sering menghindari tugas yang memerlukan perhatian lama.
(7)     Sering kehilangan barang yang dibutuhkan untuk tugas.
(8)     Sering beralih perhatian oleh stimulus dari luar.
(9)     Sering pelupa dalam kegiatan sehari-hari.
(b)     Enam atau lebih gejala hiperaktif-impulsif, berlangsung paling sedikit 6 bulan, tidak memiliki kemampuan beradaptasi dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan. Gejala tersebut adalah :
Hiperaktif :
(1)     Sering menggerakkan kaki dan tangan dan sering menggeliat.
(2)     Sering meninggalkan tempat duduk di kelas.
(3)     Sering berlari dan memanjat.
(4)     Mengalami kesulitan melakukan kegiatan dengan tenang.
(5)     Sering bergerak seolah diatur oleh motor penggerak.
(6)     Sering bicara berlebihan.
Impulsif, dengan gejala sebagai berikut :
(1)     Sering memberi jawaban sebelum pertanyaan selesai.
(2)     Sering mengalami kesulitan menunggu giliran.
(3)     Sering memotong atau menyela orang lain.
(4)     Sembrono, melakukan tindakan berbahaya tanpa pikir panjang.
(5)     Sering berteriak di kelas.
(6)     Tidak sabaran.
(7)     Usil, suka mengganggu anak lain.
(8)     Permintaannya harus segera dipenuhi.
(9)     Mudah frustrasi dan putus asa.
2)      Beberapa gejala hiperaktif-impulsif (inattentive) ada pada anak sebelum usia 7 tahun.
3)      Beberapa gejala terjadi pada dua situasi atau lebih, misalnya di rumah, di sekolah dan di tempat kerja.
4)      Harus ada bukti secara klinis dan signifikan mengenai kelemahan pada fungsi sosial akademik atau pekerjaan.
5)      Gejala-gejala tersebut bukan schizophrenia atau jenis psikosis lainnya.
Dengan demikian, berdasarkan DSM IV ini seorang anak dikatakan mengalami ADHD apabila terdapat 6 atau lebih gejala inattention dan 6 atau lebih gejala hiperaktif-impulsif. Gejala tersebut ada pada anak umur 7 tahun dan berlangsung pada dua situasi atau lebih dan kelemahan fungsi sosial akademik dibuktikan secara klinis.
b.        Penggolongan Berdasarkan Jenis Kelainan Perilaku
Shepherd (2010) menggolongkan ADHD berdasarkan kelainan perilaku. Ia menyebut ADHD dengan sebutan hiperaktif, dan ia mengemukakan ada 3 bentuk hiperaktif, yaitu hiperaktif sensoris, hiperaktif motoris, dan hiperaktif campuran. Penjelasan untuk masing-masing bentuk hiperaktif tersebut akan dipaparkan berikut ini.
1)        Hiperaktif Sensoris
Hiperaktif sensoris disebabkan adanya kelainan atau cidera otak. Kelainan ini menyebabkan penderita tidak sanggup merespon segala sesuatu yang tidak perlu atau tidak ada hubungannya. Setiap rangsangan yang datang, tanpa diseleksi apakah rangsangan itu penting atau tidak bagi kegiatan yang sedang dijalankan. Setiap rangsangan baik berupa gerakan, bau, warna, bunyi atau peristiwa akan merangsang anak untuk mengalihkan perhatiannya. Anak yang mengalami hiperaktif sensoris, karena kelemahan neurologis tidak sanggup menahan diri terhadap setiap rangsangan yang datang padanya.
2)        Hiperaktif Motoris
Hiperaktif motoris terjadi karena adanya gangguan neurologis, sering disebut dengan disinhibisi motoris atau sindrom hiperkinetik, yang merupakan ketidakmampuan untuk bertahan terhadap rangsangan yang menimbulkan respon motorik. Hiperaktif motoris kebalikan dari hiperaktif sensoris, mereka mengalami “reaksi katastropis”, yaitu keseluruhan tubuh bereaksi dengan cara yang tidak dapat dikendalikan. Anak ini ingin selalu melakukan aktivitas yang tidak diperlukan selalu dilakukan.
Segala sesuatu yang dalam daerah penglihatan anak atau yang dapat dicapai atau dipegang, didorong, ditarik, diputar, diikat, maupun dibalikkan menjadi suatu perangsang yang bagi anak terpaksa ia merespon. Jika ia sekolah, benda-benda seperti pensil, buku-buku, kertas dan alat tulis lainnya tidak dapat membantu anak malah menjadi pengganggu anak dalam belajar.
Anak yang mengalami kelainan ini jika mendengar bunyi yang keras atau mengalami situasi yang tidak diharapkan dapat menjadi kacau, cemas, ataupun gelisah. Anak memang tidak selalu bereaksi secara fisik, tetapi nampak bingung dan ragu-ragu serta meresponnya tidak rasional. Perilaku anak kemudian menjadi tidak masak, dan mereka menjadi tidak agresif baik dalam kata-kata maupun gerak. Anak yang mengalami kelainan ini mendapat kesulitan dalam belajar keterampilan motorik halus. Anak yang tidak dapat mengontrol aktivitas motoriknya akan mengalami kesulitan dalam kegiatan yang dilakukan dengan duduk seperti: menulis, menalikan sepatu, dan mengiris makanan maupun makan. Kegiatan-kegiatan yang sederhana itu dapat merangsang anak pada gerakan-gerakan yang berlebihan. MIsalnya, sedang menggosok gigi ia akan terganggu dengan adanya aliran air. Perilaku hiperaktif motoris ini berbeda-beda derajatnya untuk setiap individu.
3)        Hiperaktif Campuran
Kadang-kadang tipe hiperaktif motoris diikuti oleh gejala hiperaktif sensoris, sehingga seorang anak dapat memiliki ciri-ciri yang ada pada hiperaktif motoris dan hiperaktif sensoris, ini yang disebut tipe hiperaktif campuran. Shepherd (2010) membagi hiperaktif menjadi 2 tipe, yaitu tipe brain-injured dan tipe non-brain-injured. Tipe “brain-injured” ditandai dengan: (a) perilaku yang aneh, tidak teratur, berpindah-pindah (erratic); (b) tidak dapat mengontrol perilakunya (uncontrollable); dan (c) sangat aktif (overactive). Sedangkan tipe “non-brain-injured” yakni tipe hiperaktif yang bukan disebabkan karena luka otak. Tipe ini terdapat pada anak-anak tunagrahita (mentally retarded children).
c.         Penggolongan Berdasarkan Penyebab
Flick (1998) menggolongkan ADHD berdasarkan penyebab pada 3 tipe, yaitu :
1)   Tipe ADHD yang disebabkan gangguan neurologis. Penyebab gangguan neurologis dibedakan pada dua tipe yaitu ADHD yang disebabkan kerusakan otak (brain injured dan brain damage) dan ketidakmasakan sistem saraf pusat. Bila gejala ADHD-nya telah hilang melalui pengobatan medis dan latihan, maka gejala tersebut tidak dapat hilang secara keseluruhan, begitu juga karena ketidakmasakan sistem saraf pusat, masih ada gejala ADHD yang tertinggal misalnya ada gangguan pemusatan perhatian.
2)   Tipe ADHD yang disebabkan karena faktor perkembangan. Termasuk di dalamnya faktor genetika dan faktor biologis.
3)   Tipe ADHD yang disebabkan karena faktor psikogen. Tipe ini disebabkan karena faktor lingkungan, misalnya pola asuh orangtua yang menyebabkan anak mengalami konflik dan tertekan.
d.        Penggolongan Berdasarkan Berat Ringannya Penyimpangan Perilaku
1)    Tipe ADHD Berat
ADHD tipe ini sering disebut hiperkinetik, Quay & Werry (1986) mengemukakan ada 3 tipe hiperkinetik, yaitu : 1) simple disturbance of activity and attention (yakni daya perhatian sangat rendah, perilaku kacau, aktivitas sangat tinggi); 2) hyperkinesis with developmental delay (berkaitan dengan gangguan bicara, gangguan koordinasi motorik, dan gangguan akademik); dan 3) hyperkinetic conduct disorder (berkaitan dengan gangguan perilaku yang tidak disebabkan karena gangguan perkembangan).
2)    Tipe ADHD Ringan
Penderita masih bisa mengontrol perilakunya. Tipe-tipe ADHD ini perlu dipahami terutama bagi pihak yang memberikan pelayanan, karena setiap tipe membutuhkan pendekatan layanan yang berbeda.
D.      Metode Applied Behavior Analysis (ABA)
1.        Pengertian Metode Applied Behavior Analysis (ABA)
Perilaku, kelakuan, atau tindak tanduk merupakan hasil interaksi seseorang dengan lingkungan. Dalam pengertian luas, perilaku mencakup segala sesuatu yang dilakukan atau yang dialami seseorang. Dalam pengertian sempit, perilaku dirumuskan sebagai reaksi yang dapat diamati secara umum atau objektif (Chaplin, 2009). Modifikasi perilaku merupakan fokus dari model perilaku, yang berusaha mengubah perilaku yang tidak dikehendaki dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar secara sistematis kearah cara-cara yang lebih adaptif.
Penerapan modifikasi perilaku menggunakan beberapa prinsip teori perilaku, Joyce & Weil (1996) menyatakan: (1) perilaku sebagai sesuatu yang bisa diamati (observable) yakni gejala yang bisa diidentifikasi, (2) perilaku yang maladaptif diperoleh melalui belajar dan dapat diubah dengan prinsip-prinsip belajar, (3) tujuan dari perilaku tersebut spesifik, deskrit dan individual, dan (4) teori perilaku menitikberatkan pada “saat kini dan di sini”. Joyce & Weil (1996) menambahkan bahwa teori perilaku terdiri dari dua model, yaitu: (1) model operant conditioning (Skinner), yang menekankan pada peran lingkungan (khususnya hadiah dan hukuman) dan (2) model counterconditioning (Wolpe), yakni menekankan pada prosedur penggantian perilaku adaptif menjadi respon yang maladaptif. Model yang digunakan dalam makalah ini adalah model operant conditioning (Skinner).
Corey (1991) mengemukakan ada 4 ciri-ciri modifikasi perilaku, yaitu :
a.         Pemusatan perhatian kepada perilaku yang tampak dan spesifik.
b.        Kecermatan dan penguraian tujuan treatmen.
c.         Perumusan prosedur treatmen yang spesifik.
d.        Penafsiran objektif atas hasil terapi.
Pada dasarnya modifikasi perilaku diarahkan pada tujuan memperoleh perilaku yang baru, penghapusan perilaku yang maladaptif, mengurangi perilaku menyimpang serta memperkuat dan mempertahankan perilaku yang diinginkan. Salah satu bagian dari modifikasi perilaku adalah applied behavior analysis yakni ilmu yang menerapkan secara sistematis prinsip-prinsip keperilakuan untuk mengubah perilaku yang signifikan secara sosial serta untuk menunjukkan bahwa prosedur yang digunakan dapat dipertanggungjawabkan untuk mengubah perilaku.
Cooper, dkk (2007) mendefeniskan applied behavior analysis sebagai “the science in which tactics derived from the principles of behavior are applied systematically to improve socially significant behavior and experimentation is used to identify the variables responsible for behavior change”.  ABA didefenisikan sebagai ilmu yang menerapkan prinsip-prinsip perilaku secara sistematis untuk meningkatkan perilaku yang signifikan secara sosial dan  menggunakan eksperimentasi untuk mengidentifikasi variabel-variabel yang bertanggung jawab terhadap perubahan perilaku. Menurut Slavin (1996) applied behavior analysis merupakan proses dalam mengaplikasikan prinsip-prinsip perilaku tentatif yang bertujuan untuk meningkatkan perilaku spesifik dan penilaiannya dilakukan secara simultan. Alberto & Troutman (2008) mendefenisikan ABA sebagai penerapan yang sistematis dari prinsip-prinsip perilaku untuk mengubah perilaku menjadi perilaku yang lebih bermakna yang signifikan secara sosial, serta memverifikasi kaitan antara perilaku dan intervensi yang diberikan.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa applied behavior analysis merupakan penerapan prinsip-prinsip dari teori perilaku yang bertujuan untuk mengubah, memperbaiki, dan meningkatkan perilaku spesifik menjadi perilaku perilaku yang diterima secara sosial.
2.         Tujuan dan Karakteristik Applied Behavior Analysis (ABA)
Slavin (1996) menyatakan apllied behavior analysis bertujuan untuk : (a) to increase behavior; (b) to teach a new skill;  (c) to maintain behaviors; (d)  to generalize or to transfer behavior from one situation or response to another; (e) to restrict or narrow conditions under which interfering behaviors occur and (f) to reduce interfering behavior
Jika diterjemahkan secara bebas, maka apllied behavior analysis bertujuan untuk: (a) meningkatkan perilaku, (b) mengajarkan keterampilan yang baru, (c) mempertahankan perilaku, (d) mentransfer perilaku dari satu situasi ke respon yang lain, (e) membatasi atau mengawasi suatu perilaku yang muncul, dan (f) mengurangi pertentangan perilaku.
Sedangkan Heward, dkk (2005) apllied behavior analysis memiliki karakteristik berikut :
a.       Applied. ABA memfokuskan diri pada perubahan perubahan perilaku yang signifikan secara sosial dan meningkatkan kehidupan. Para ahli perilaku tidak hanya mempertimbangkan perubahan perilaku pada jangka tetapi juga memperhatikan bagaimana perubahan perilaku itu mempengaruhi individu dan orang-orang di sekitarnya. Misalnya: keterampilan sosial, berbahasa, keterampilan akademik, aktivitas kehidupan sehari-hari, merawat diri, dan sebagainya.
b.      Behavioral. Bahwa perilaku tersebut harus bisa diukur secara objektif dan harus berubah. Artinya perilaku tersebut butuh peningkatan, serta menggunakan pengukuran yang reliabel.
c.       Analytic. Bahwa para ahli perilaku harus menunjukkan kontrol terhadap perilaku yang diubah dengan memastikan bahwa intervensi perilaku tersebut sesuai dengan standar etik setempat. Artinya ada hubungan fungsional antara variabel yang dimanipulasikan dengan target behavior (perilaku target). Pemberi treatment dapat mengontrol kejadian atau bukan kejadian pada perilaku. Dengan demikian, sangat besar kemungkinannya mengontrol perilaku yang lebih besar cakupannya.
d.      Systematic. Prosedur dan intervensi ABA harus dibuat sedetil mungkin sehingga peneliti lain yang ingin mengulang intervensi tersebut dengan kondisi yang sama akan menghasilkan hasil yang sama juga.  
e.       Generalizeable. Hasil dari intervensi berbasis ABA bisa diberlakukan pada waktu, tempat dan setting yang lain, tidak hanya pada perilaku yang diubah saat itu juga.  
f.       Databased. Metode ABA menggunakan pengukuran frekuensi perilaku yang muncul yang secara langsung bisa dianalisis untuk mengetahui keberhasilan atau kegagalan sehingga dapat diubah sesegera mungkin.
3.         Langkah-langkah Penerapan Metode ABA
Flick (1998) menyatakan tahapan dalam melaksanakan metode ABA, sebagai berikut:
a.       Mengidentifikasi perilaku sasaran (target behavior) dan pengukuh.
b.      Menetapkan baseline (kondisi awal) dari perilaku sasaran.
c.       Memilih pengukuh dan kriteria pemerkuat (reinforcement).
d.      Memilih penghukum dan kriteria hukuman (jika perlu).
e.       Mengamati perilaku selama pelaksanaan program dan membandingkannya dengan perilaku baseline.
f.       Ketika modifikasi perilaku sedang diberikan, frekuensi penguatan dikurangi.
Slavin (1996) menambahkan langkah-langkah penerapan metode ABA sebagai berikut :
a.       Menentukan tujuan perlakuan, tujuan dispesifikasikan.
b.      Menentukan jenis perilaku yang akan diubah, dikurangi atau dipertahankan secara konkrit.
c.       Memilih dan melakukan prosedur yang sesuai dengan memperhatikan tingkat efektivitasnya.
d.      Mengevaluasi hasilnya dan perbaikan yang berkesinambungan.
e.       Perilaku yang sudah muncul sesuai harapan pertahankan sampai perilaku yang sesuai diharapkan muncul.
Sedangkan Corey (1991) membuat tahapan yang lebih terperinci, yaitu:
a.         Pertama, tahap classical conditioning, dihasilkan dari individu yang pasif, menekankan pada stimulus-respon. Pada tahap ini bagaimana memberikan situasi yang aman, bebas dari ancaman tidak rasa takut, memberikan stimulus agar respon yang diharapkan dapat muncul. Individu cenderung pasif sedangkan terapis lebih aktif.
b.        Kedua, tahap operant conditioning. Pada tahap ini terjadi perubahan perilaku dapat berfungsi sebagai penguat-ulang (reinforcer). Agar suatu perilaku yang diharap terus bertahan. Apabila suatu perubahan perilaku tidak menghasilkan penguat-ulang maka kecil kemungkinannya perilaku yang diharapkan itu muncul berubah. Tahap ini lebih menekankan pada respon.
c.         Ketiga, tahap kognitif behavioristik. Awalnya metode ABA mengesampingkan konsep berpikir (cognitive), konsep sikap dan konsep nilai. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, mulai memperhatikan konsep berpikir (kognitif) dalam melakukan terapi. Konsep ini diberi nama terapi pengubah perilaku atau lebih dikenal dengan modifikasi perilaku. Modifikasi perilaku ini sebagai pengalaman dasar hasil penelitian dengan tujuan memgatasi masalah pribadi dan sosial serta meningkatkan fungsi dari modifikasi perilaku.
4.         Prinsip-prinsip Penggunaan Metode ABA
Metode ABA menggunakan pendekatan operant conditioning (Skinner). Metode yang digunakan adalah metode shaping, yaitu suatu metode pengarah perilaku. Perilaku-perilaku anak terus diarahkan menuju perilaku yang lebih adaptif. Pada pendekatan ini perilaku yang akan diubah dibagi dalam unit-unit atau bagian-bagian. Pengubahan perilaku dilakukan setiap bagian, dengan memberikan reinforcement setiap bagian setelah ada respon yang sesuai atau mendekati perilaku yang diharapkan. Apabila sudah berhasil baru menuju pada bagian selanjutnya, demikian seterusnya. Misalnya memperbaiki motorik halus melalui kegiatan menulis. Kegiatan menulis ini dibagi dalam beberapa bagian, mengambil pensil atau buku, meraut pensil, memegang pensil, menulis, menulis dengan aturan dan arahan guru. Anak diberi stimulus agar mau melakukan kegiatan ini bagian per bagian. Setelah berhasil melakukan kegiatan per bagian diberikan reinforcement sebagai penguat sampai pada tahap akhir, yaitu menulis berdasarkan aturan dan arahan guru.
Prinsip pelaksanaan shaping adalah penggunaan reinforcement dan extinction, merupakan alat yang dapat digunakan untuk membuat atau membentuk perilaku operant yang baru. Sebelum memulai membentuk perilaku, harus diyakini bahwa reinforcer (penguat) yang dipakai adalah efektif untuk mengubah perilaku yang dikehendaki. Shepherd (2010) menjelaskan agar metode shaping ini dapat terlaksana dengan baik jika dilakukan dengan memisahkan anak dari reinforcer untuk beberapa waktu sebelum shaping dimulai. Selanjutnya dianalisis perilaku sebenarnya yang akan dibuat.
Prosedur umum yang digunakan dalam shaping dimulai dengan memisahkan anak dari reinforcer, hal ini dimaksudkan untuk menaikkan tingkat aktivitas anak atau menaikkan respon. Respons yang mirip dengan respon yang diinginkan perlu diberikan reinforcement. Pemberian reinforcement yang selektif akan meningkatkan frekuensi dari variasi respon yang sudah diperkuat. Setelah perilaku yang kuat terbentuk dan berulangkali berlangsung, reinforcement dihentikan. Kalau terjadi penurunan perilaku, maka perlu diberikan reinforcement kembali dengan respon yang lebih mendekati tujuan, terus dilakukan sampai respon menjadi benar-benar kuat sehingga sudah menjadi kebiasaan.
Extinction menunjukkan suatu prosedur dimana respon yang mulanya telah diperkuat tidak lagi diperkuat, akibat respon atau frekuensi operan akan menurun secara bertahap. Meskipun demikian perilaku itu tidak lenyap begitu saja, tetapi melalui setahap demi setahap. Extinction adalah menghapus respon atau mengurangi, mengeliminasi respon atau membawanya kembali ke tingkat semula sebelum adanya reinforcement. Extinction dapat menghasilkan turunnya frekuensi respon dan dapat kenaikan kegiatan merespons segera setelah extinction dimulai. Contohnya meningkatkan perilaku belajar, setelah terbentuk kebiasaan belajar, reinforcement yang dihentikan justru meningkatkan perilaku belajar, atau sebaliknya justru akan menurun bahkan hilang.
Berdasarkan uraian di atas tentang metode shaping, dapat disimpulkan ada tiga langkah pokok untuk melakukan metode shaping, yaitu :
a.    Analisis perilaku yang akan diubah itu ke dalam bagian-bagian atau unit-unit.
b.    Tentukan reinforcement yang akan diberikan.
c.    Tentukan cara, saat, dan jenis reinforcement.
Dalam menentukan jenis reinforcement perlu diingat setiap individu tidak sama. Ada anak yang senang diberi permen cokelat, ada yang suka diajak jalan-jalan, tetapi ada juga yang hanya diberi anggukan, senyuman sudah merupakan “reward” atau reinforcement positif, yang dapat menimbulkan, mempertahankan atau memperkuat perilaku yang diharapkan.
Waktu pemberian reinforcement perlu diperhatikan. Reinforcement dapat diberikan setiap saat muncul respon yang dikehendaki, tetapi dapat juga diberikan dengan menentukan secara ratio, misalnya setelah sekian kali melakukan akan diberikan “reward”. Reinforcement mempunyai fungsi mempertahankan respon atau perilaku yang dikehendaki dan mempercepat terjadinya respon atau perilaku yang dikehendaki. Terapi perilaku dan modifikasi perilaku perbedaannya tidak terlalu mendasar, bahkan dapat dikatakan tidak ada.
E.       Aplikabilitas Metode ABA pada Anak ADHD
Metode ABA yang diterapkan pada anak ADHD menggunakan berbagai pendekatan. Shepherd (2010) mengemukakan pendekatan yang sering digunakan dalam modifikasi perilaku, yaitu: relaksasi, desensitisasi sistematik, latihan kepekaan, peniruan melalui model, operant conditioning, pengusaan diri, kejenuhan, pelatihan asertivitas, dan kondisioning melalui penolakan. Dari beberapa teknik tersebut yang sering digunakan untuk mengubah perilaku pada anak-anak ADHD adalah peniruan melalui model, operant conditioning, teknik pengebalan, dan pelatihan asertivitas. Teknik tersebut akan dijelaskan satu-persatu.      
1.        Peniruan Melalui Model
Tokohnya adalah Bandura, dengan teorinya Social Learning Theory yang akhirnya berubah bentuk menjadi Social Cognition Theory. Bandura menjelaskan bahwa teori belajar sosial merupakan pendekatan yang menjelaskan bahwa perilaku manusia merupakan hasil interaksi terus menerus antara kognitif, behavioral dan lingkungan sebagai penentu. Perilaku merupakan produk dari interaksi timbal balik antara person dan lingkungan. Salah satu teori Bandura adalah belajar model, yakni proses belajar melalui imitasi dengan mengamati model atau tokoh atau beberapa orang teladan yang berperan sebagai perangsang terhadap pikiran, sikap subjek pengamat tindakan sehingga akan terbentuk perilaku yang baru (Bandura, 1977).
Dalam melaksanakan teknik modelling, ada 2 tahapan yang harus diperhatikan, Shepherd (2010) menyatakan sebagai berikut : (1) tahap pemilikan, yakni tahap masuknya perilaku dalam perbendaharaan perilaku subjek, subjek mengamati dan mempelajari perilaku model yang diamati; (2) tahap pelaksanaan, yakni subjek melakukan perilaku yang telah dipelajari dari model. Shepherd menambahkan ada beberapa langkah dasar yang perlu diperhatikan dalam mengimplementasikan prosedur modeling, yaitu :
a.         Mengenali dan menentukan perilaku awal (baseline) yang akan diubah melalui modeling.
b.         Menentukan prakiraan urutan perilaku yang akan diperagakan dari yang paling kecil tingkat resiko kecemasannya ke yang paling besar.
c.         Menentukan pengukuh (reinforcement) yang akan diberikan bila subjek berhasil melakukan apa yang dirancangkan.
d.        Melaksanakan rancangan prosedur modeling yang telah dirancang.
e.         Mengubah jadual pengukuh untuk memastikan bahwa perilaku telah dikuasai oleh subjek.
f.          Mempertahankan perilaku subjek yang telah terbentuk dan berupaya melakukan generalisasi perilaku yang telah dikuasai subjek.
2.        Operant Conditioning
Operant conditioning menunjukkan suatu proses modifikasi unit-unit perilaku alih peristiwa-peristiwa yang mengikuti perubahan tersebut. Pendekatan ini ditandai dengan analisis deterministik dan eksperimental suatu perilaku. Selain itu juga ditandai adanya konsentrasi (pemusatan) pada suatu perilaku operant (respon). Walaupun demikian pendekatan ini tidak mengabaikan perilaku intrinsik dan refleksif. Penggunaan pendekatan ini hanya untuk perilaku yang dapat diamati, diukur dan direproduksi kembali.
Flick (1998) menjelaskan langkah-langkah penanganan anak ADHD dengan menggunakan pendekatan operant conditioning, yaitu :
a.         Memahami perilaku hiperaktif, seperti : (1) tidak mampu berkonsentrasi, (2) kurang kontrol dalam berperilaku dan berbicara, (3) aktivitas sangat tinggi tanpa tujuan, (4) agresif, seperti memukul dan mengganggu teman, (5) tidak mau mengerjakan tugas-tugas dari guru, dan (6) tidak mau mengikuti aturan yang dibuat sekolah.
b.         Menentukan perilaku, aktivitas atau keterampilan yang akan diubah, seperti: (1) tidak mau duduk, (2) tidak mau mendengarkan ketika guru berbicara, (3) keluar masuk kelas, dan sebagainya.
c.         Membagi perilaku yang akan diubah dalam unit-unit kecil.
d.        Menentukan reinforcement.
e.         Mengubah atau mengajarkan perilaku per bagian secara sistematik, terstruktur dan dapat dinilai.
f.          Memberikan bimbingan (bantuan+reinforcement), sedikit demi sedikit bantuan tersebut ditiadakan. Perlu sikap tegas dan disiplin dari guru. Pemberian reinforcement bisa negatif dan positif tergantung kondisi anak. Reinforcement positif misalnya: memberi kasih sayang, acungan jempol, memangku, memberi sesuatu yang disukai anak tetapi tidak membawa dampak negatif pada anak. Reinforcement negatif misalnya: menarik tangan, menginjak kaki (tanpa menimbulkan sakit) setiap anak akan pergi dari tempat duduk, melarang dengan tegas apabila anak melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki dan sebagainya. Reinforcement pada anak hiperaktif sangat subyektif, masing-masing anak tidak sama.
3.        Teknik Pengebalan/Kejenuhan (Saturation)
Merupakan teknik dengan cara memberikan rangsang yang menimbulkan rasa takut atau cemas yang diberikan terus menerus. Pengalaman yang dianggap mencemaskan atau menakutkan tersebut tidak menimbulkan efek negatif pada anak. Flick (1998) menjelaskan langkah penanganan anak hiperaktif dengan menggunakan pendekatan ini adalah :
a.         Melatih dan membuat kondisi agar anak dalam keadaan rileks.
b.         Susun faktor-faktor hirarkis dari yang paling tidak menimbulkan ketakutan sampai yang paling menimbulkan ketakutan.
c.         Berikan pengalaman-pengalaman tersebut secara hirarkhis sambil membawa anak dalam keadaan rileks.
4.        Pelatihan Asertivitas
Asertivitas mempunyai makna kemampuan dan kemauan untuk menyatakan secara langsung berdasarkan kondisi interpersonalnya. Pelatihan asertivitas merupakan prosedur pengubahan perilaku yang mengajarkan, membimbing, melatih dan mendorong anak untuk menyatakan dan berperilaku tegas dalam situasi tertentu. Perilaku asertif adalah perilaku antar personal yang melibatkan aspek kejujuran, keterbukaan pikiran, perasaan, yang dilakukan dengan mempertimbangkan perasaan dan kesejahteraan orang lain.
Morris (1985) menyatakan perilaku asertif digolongkan pada tiga kategori, yaitu: asertif penolakan, asertif pujian, dan asertif permintaan. Asertif penolakan dapat dilakukan dengan halus, misalnya “maaf”. Pada anak hiperaktif, terapis dapat melakukan dengan tegas, misalnya “jangan”, “tidak boleh!”. Pada anak dapat dilatihkan untuk menyatakan “Maaf, saya tidak mau!”. Asertif pujian ditandai dengan kemampuan untuk mengekspresikan perasaan setuju, cocok, senang, mencintai, memuji dan bersyukur. Perilaku ini lebih diarahkan pada kemampuan mengapresiasikan sesuatu yang dialami dalam dirinya. Misalnya, “Wah, ini cocok untuk kamu!”. Sedangkan asertif permintaan merupakan latihan untuk meminta orang lain melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu tanpa tekanan atau paksaan. Misalnya, “Apakah kamu mau menjelaskan mengapa memukul Annisa?”, dan sebagainya.
Latihan asertif dapat dilakukan pada anak-anak yang : (a) mengalami kesulitan untuk mengatakan “tidak”, (b) tidak dapat mengekspresikan perasaan marah atau tersinggung, (c) kesulitan mengekspresikan perasaan dan respon-respon yang positif, (d) terlalu sopan, dan (e) merasa tidak dapat mengekspresikan perasaan dan pikiran.
F.       Evaluasi Metode ABA
Keberhasilan penerapan metode ABA tergantung pada ketelitian dalam mendefenisikan perilaku yang akan diubah dan menentukan titik awal perubahan. Shepherd (2010) menyatakan ada tiga langkah yang dilakukan dalam mengevaluasi metode ABA.
1.         Penentuan Tujuan Khusus Perilaku Target dan Baseline.
Tujuan khusus perilaku berkaitan dengan jenis perilaku yang akan diubah. Spesifikasi perilaku yang akan diubah bergantung pada kemampuan mendefenisikan perilaku yang akan diamati. Keluasan tujuan khusus bergantung pada kemampuan modifikator dan kompleksitas perilaku. Makin spesifik tujuan yang ditentukan makin mudah dalam mengimplementasikan dan makin mudah mengevaluasi keberhasilan program modifikasi perilaku. Tujuan khusus modifikasi perilaku hendaknya memenuhi tiga kriteria, yaitu : (1) spesifik, merupakan perilaku yang spesifik yang berbeda dengan yang lain, baik bentuk, frekuensi maupun durasinya; (2) dapat diukur, yakni perubahan tersebut dapat diamati untuk ditentukan frekuensi, intensitas dan durasinya; dan (3) dapat diulangi kemunculan perilaku sebagai upaya untuk mengetahui arah perubahan perilaku.
Evaluasi pelaksanaan metode ABA diukur melalui 3 model, yaitu AB, ABAB, dan multiple baseline. Model AB merupakan model yang paling sederhana, A dimaknai sebagai baseline sedangkan B sebagai perubahan perilaku yang terjadi. Model ABAB merupakan model yang lebih komplit, dimana A sebagai baseline (rerata kemunculan perilaku awal), B sebagai pemberian perlakuan, A perilaku tersebut diamati kembali (pembalikan) atau baseline kedua, dan B sebagai perlakuan. Model multiple baseline tidak tergantung pada kondisi pembalikan (reversal) terhadap baseline kedua, tetapi lebih ditunjukkan pada munculnya perilaku sejenis atau yang diindikasikan mendekati dengan perilaku yang diharapkan muncul pada modifikasi perilaku yang dilaksanakan. Model ini cocok untuk menguji konsistensi perilaku dalam berbagai situasi.
2.        Teknik-teknik Pengukuran Metode ABA
Hal ini berkaitan dengan cara merekam perilaku. Oleh karena itu ketepatan dalam pengamatan dan perekamannya akan menentukan hasil evaluasi program modifikasi perilaku yang dilaksanakan. Flick (1998) memberikan kriteria dalam membuat pengukuran dalam bentuk rekaman hasil pengamatan, yaitu: (1) ketelitian respon, (2) kecepatan respon, (3) kekuatan respon, (4) daya tahan respon untuk hilang, (5) kemungkinan respon terkontaminasi dengan respon lain, (6) kemungkinan munculnya respon lain, dan (7) usaha subjek untuk memunculkan respon.
Dalam pengukuran perilaku dikenal adanya tiga cara mengukur perilaku yaitu grafik, frekuensi, dan durasi. Grafik digunakan untuk mengukur perilaku tunggal yang diharapkan muncul pada periode tertentu dari suatu observasi perilaku. Frekuensi paling sering digunakan untuk menentukan banyaknya perilaku untuk diamati itu muncul. Dalam menentukan frekuensi, satuan waktu pengamatan dirumuskan untuk membatasi banyaknya perilaku itu muncul. Misalnya dalam menit, jam, hari, atau minggu. Durasi waktu digunakan untuk menentukan ukuran perilaku dari aspek berapa lama perilaku itu muncul, misalnya satuan detik atau menit. (DuPaul & Stoner, 1994).
G.       Pembahasan
Aplikasi metode ABA dalam dunia pendidikan luar biasa sangat membantu praksis penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus terutama dalam pengubahan dan pembentukan perilaku, meningkatkan perilaku ke arah yang lebih baik, penghapusan perilaku yang maladaptif, mengurangi perilaku menyimpang serta memperkuat dan mempertahankan perilaku yang diinginkan. Dengan demikian, pelaksanaan metode ABA ditandai dengan perilaku yang tampak, spesifik, kecermatan dan penguraian tujuan treatmen, perumusan prosedur treatmen yang spesifik, dan adanya penafsiran objektif atas hasil terapi.
Metode ABA jika dilakukan sesuai dengan sistematikanya akan memberikan hasil yang baik. Namun, di beberapa lembaga atau klinik layanan anak-anak bekebutuhan khusus penerapan metode ABA kurang optimal dilakukan. Alhasil, banyak orangtua yang mengeluhkan karena anaknya belum menunjukkan perubahan yang signifikan dari penerapan metode AB. Padahal metode ini bertujuan untuk mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan oleh anak supaya bisa kembali ke jalur perkembangan yang normal. Keterampilan yang
diajarkan adalah kepatuhan, kemampuan berkomunikasi, sosialisasi, akademik, dan bantu diri.
Ada beberapa penyebab mengapa pelaksanaan metode ABA kurang berhasil diterapkan pada anak-anak ADHD di sekolah atau klinik ADHD. Pertama, masih kurangnya pemahaman tentang kondisi anak ADHD. Pemahaman yang komprehensif tentang ADHD dan bentuk-bentuk intervensi ADHD menjadi fondasi bagi keberhasilan penerapan metode ABA. Dikarenakan mereka mengalami gangguan perilaku, maka perilaku yang akan diajarkan harus digantikan dengan perilaku-perilaku yang teramati dan terukur. Kedua, belum banyaknya tenaga terapis yang menguasai metode ABA. Sesuai dengan ciri khas dari metode ABA yakni membuat task analysis (analisis tugas) untuk setiap perilaku yang diajarkan. Untuk itu pelaksanaan metode ABA harus dilaksanakan dengan memecah keterampilan yang mau diajarkan menjadi beberapa bagian atau langkah-langkah kecil, yaitu : (1) terstruktur, yakni pengajaran menggunakan teknik yang jelas; (2) terarah, yakni ada kurikulum jelas untuk membantu mengarahkan terapi; dan (3) terukur, yakni keberhasilan dan kegagalan menghasilkan perilaku yang diharapkan, diukur dengan berbagai cara, tergantung kebutuhan. Artinya, mengajarkan suatu keterampilan sampai terkuasai, memberi pengulangan, menyediakan prompt (bantuan), menghilangkan ketergantungan dan pemberian reinforcerment
Ada pendekatan khusus dalam menerapkan metode ABA pada anak ADHD, yaitu materi harus disesuaikan dengan perkembangan anak. Artinya, keterampilan yang lebih mudah diajarkan lebih dulu. Sedangkan, keterampilan rumit jangan dulu diajarkan sebelum anak menguasai syaratnya. Untuk itu ada kelompok khusus keterampilan dan kemampuan yang harus diperhatikan dalam menerapkan metode ABA pada anak ADHD.
1.      Kemampuan untuk memperhatikan.
Apabila anak tidak mampu memperhatikan dalam rentang waktu beberapa menit, ia akan mengalami kesulitan mencerna pelajaran atau mendengarkan instruksi.
2.      Meniru atau imitasi.
Pada saat anak diminta meniru, tidak muncul perkataan apapun dari guru kecuali hanya kata “tiru”, “lakukan” atau “coba”. Pada posisi ini, anak dituntut melakukannya seperti yang dicontohkan. Materi imitasi dibagi ke dalam beberapa tahap, yaitu: imitasi motorik kasar, imitasi motorik halus, imitasi aksi dengan benda, imitasi suara (sehingga anak belajar berbicara karena diarahkan meniru kata-kata orang lain), imitasi pola balok (untuk mempersiapkan anak belajar menulis), sampai imitasi perilaku bermain.
3.      Memasangkan.
Anak dituntut mengenali sesuatu yang dikelompokkan atas ciri-ciri tertentu. Kemampuan ini meliputi kemampuan mensortir dan mengerjakan worksheet. Misalnya, piring pasangannya gelas. Instruksi yang diberikan, “pasangkan”, “cari yang sama”, atau kata-kata lain yang bermakna sama, sehingga anak mencari pasangan yang diperlihatkan.
4.      Identifikasi.
Anak diminta menetapkan pilihan dengan memegang, mengambil, atau menunjuk satu dari beberapa hal. Teknik ini memungkinkan guru memeriksa apakah anak paham berbagai konsep (receptive languange) tanpa bergantung pada kemampuan bicara. Identifikasi tidak terlalu berbeda dengan labeling, tapi identifikasi anak tidak dituntut secara ekspresif.
5.      Labeling atau ekspresi (bahasa pengungkapan). Kemampuan ini memang cukup sulit karena mengandalkan kemampuan pengungkapan bahasa (expressive languange). Biasanya anak diminta menjawab pertanyaan, seperti “apa ini?”, “siapa ini?”, dan “dimana…?”.
Metode Applied Behavior Analysis pada anak ADHD, mesti mendasarkan proses pengajaran pada pemberian stimulus (instruksi), respon individu (perilaku) dan konsekuensi (akibat perilaku). Ketika melaksanakan metode ini, guru mesti konsisten memberikan stimulus, respon dan konsekuensi yang diberikan. Selain itu, dibutuhkan juga kemampuan (skill), pengetahuan memadai tentang ADHD dan teknik ABA (knowledge). Terakhir, bersikap baik, optimis dan memiliki minat perasaan (sense) terhadap anak anak ADHD sangat menentukan proses pemberian bantuan yang berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar