Senin, 23 April 2012

FALSIFIKASI


KARL RAIMUND POPPER DAN FALSIFIKASI

 A. Riwayat Hidup Karl Raimund Popper
Karl Raimund Popper lahir di Wina pada tanggal 21 Juli 1902 dari keluarga Yahudi Protestan. Ayahnya, Dr. Simon S.C. Popper, seorang pengacara yang meminati filsafat dan masalah sosial. Masa remajanya di kota Wina merupakan masa yang cukup menentukan arah perkembangan pribadi dan intelektualnya. Masa pendidikan dilalui selama periode tahun 1920-an di kota tersebut. Popper memulai pendidikan ilmiah formalnya sebagai murid privat. Bidang-bidang pelajarannya cukup luas, namun Popper lebih memfokuskan perhatiannya pada bidang matematika dan fisika teoretis. Pada tahun 1925, Popper mengikuti kursus lanjutan di Institut Pedagogi, cabang dari Universitas Wina dan pada masa itu pula ia bertemu dengan calon istrinya.
Pada tahun 1928, Popper meraih gelar Doktor dengan judul disertasi: Masalah Psikologi dalam Psikologi Pemikiran. Popper merasa tidak puas dengan disertasinya dan memilih untuk mempelajari bidang epistemologi yang dipusatkan pada pengembangan teori ilmu pengetahuan. Usahanya ini semakin intensif ketika ia berjumpa dengan positivisme logis dari lingkaran Wina. Popper bukan termasuk dalam lingkaran Wina, sebab dia merupakan kritikus paling tajam terhadap gagasan-gagasan lingkaran Wina. Popper yang berdarah Yahudi, harus meninggalkan tempat kelahirannya sebab pada waktu itu Jerman di bawa penguasanya Hitler telah menduduki tempat itu. Popper pindah ke Selandia Baru dan mengajar di Universitas Christchurch. Ia pun tidak menetap di sana, sebab pada tahun1945, ia pindah ke Inggris dan mengajar di London School of Economics. Popper menginggal dunia pada tanggal 17 September 1994 di London Selatan akhibat penyakit jantung.  Adapun beberapa karya tulisnya yang terbesar antara lain sebagai berikut: The Poverty of Historicism (1945); The Logic of Scientific Discovery (1959); Conjectures and Refutations: The Growt of  Scientific Knowledge (1963).
B. Aliran-Aliran dalam Filsafat Ilmu
Filsafat Ilmu Pengetahuan yang kita kenal sekarang memiliki sejarahnya sendiri yang terus mengalami perkembangan, didalamnya memperlihatkan adanya perkembangan pemikiran yang sangat dinamis. C.V. Van Peursen, Kenneth Gallagher, dan C. Verhaak mengakui adanya tahap-tahap dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan setiap tahap memiliki aliran atau kerangka berpikirnya sendiri, pada umumnya merupakan koreksi dan atau penyempurnaan dari tahap sebelumnya. Secara garis besar dan kronologis, perkembangan aliran dalam filsafat ilmu pengetahuan dapat dibagi kedalam empat aliran, yaitu; 1) Rasionalisme, 2) Empirisme dan Positivisme, 3) Rasionalisme Kritis, dan 4) Kontruktivisme.
Pertama, pandangan aliran rasionalisme menekankan bahwa ilmu pengetahuan sering dipertautkan dengan akal. Dalam arti sempit, rasionalisme berarti anggapan mengenai teori pengetahuan yang menekankan akal dan atau ratio, untuk membentuk pengetahuan. Ini berarti bahwa sumbangan akal lebih besar dari pada sumbangan sumbangan indera. Mengenai ilmu diketengahkan oleh rasionalisme bahwa mustahillah membentuk ilmu hanya berdasarkan fakta, data empiris, atau pengamatan.
Kedua, pandangan aliran empirisme dan positivisme. Pandangan aliran empirisme memberi kelonggaran pada peranan data kenyataan untuk mengembangkan bahkan mengubah struktur ilmu pengetahuan. Maka empirisme dalam filsafat ilmu dapat lebih mengindahkan keharusan selalu mengubah dan mencocokan sistem ilmu dengan data empiris. Dalam membangun teori, empirisme memiliki siklus yang selalu dimulai dari observasi, kemudian melahirkan hukum empiris, selanjutnya dibangun teori. Aliran empirisme berpendapat bahwa induksi sangat penting, karena jalan pikirannya berangkat dari yang diketahui menuju ke yang tidak diketahui. Karena ilmu pengetahuan selalu ada unsur rasionalismenya, aliran empirisme mengalami kesulitan dalam kaidah-kaidah logika dan matematika. Disinilah aliran positivisme muncul untuk mengatasi masalah tersebut. Data observasi yang diperoleh dapat digunakan untuk ”menghitung”, atau melakukan penjabaran logis dan deduksi, sebagaimana yang terjadi pada aliran rasionalisme. Dengan demikian, empirisme dan positivisme memberikan kelonggaran lebih besar kepada masukan dari empiris dalam membangun ilmu pengetahuan
Ketiga, pandangan aliran rasionalisme kritis. Seperti penjelasan di atas, aliran rasionalisme dan empirisme termasuk positivisme merupakan dua aliran yang bertentangan. Rasionalisme kritis berupaya menghubungkan unsur rasional dan empiris dalam pengetahuan ilmiah. Dengan demikian ilmu pengetahuan yang dibangun dari proses induktif, harus selalu terbuka terhadap kritik. Ilmu pengetahuan tersebut terbuka upaya penyangkalan atau pembuktian salah (falsifikasi) yang secara terus menerus sehingga dapat lebih dikokohkan (corroborated).
Di samping itu, titik suatu ilmu terletak pada melihat situasi permasalahan. Lewat proses trial and error dan error eliminitian, ilmu yang dikembangkan atas permasalahan tadi, dapat mendekatan kebenaran.
Keempat, pandangan aliran konstruktivisme yang menekankan pada sifat kontekstual ilmu pengetahuan, yaitu pentingnya seluruh konteks demi terjadinya suatu sistem ilmiah. Konteks dan ilmu dapat saling mempengaruhi. Apabila ilmu bertentangan dengan konteks atu pengalaman, maka tidak berarti bahwa ilmu tersebut runtuh. Dalam hal terjadi pertentangan dan ketidaksesuasian tersebut, diperlukan terjemahan untuk memperbaharui sistem ilmu tadi.
Dalam aliran-aliran filsafat di atas, Popper termasuk aliran rasionalisme kritis, bahkan merupakan perintis aliran tersebut. Meskipun berkenalan dengan beberapa tokoh dalam lingkaran Wina, namun ia tidak pernah menjadi anggota lingkaran Wina. Bahkan ia jengkel, kalau pandangan-pandangannya dikaitkan dengan positivisme logis.
Dari karya-karyanya, terlihat kalau Popper sangat tidak menyukai pandangan-pandangan yang tertutup, tidak terbuka terhadap kritikan-kritikan. Baginya, pandangan tertutup tersebut tidak lebih dari sebuah ideologi, yang diperjuangkan secara fanatik. Kebenaran atau ilmu yang mendekati kebenaran hanya dapat diperoleh apabila ilmu itu terbuka terhadap usaha-usaha kritis (falsifikasi).  
C. Karl Raimund Popper  dan Positivisme Logis
Positivisme logis adalah aliran filsafat ilmu yang dikritisi dan ingin disempurnakan oleh Popper dalam aliran filsafatnya yang disebut rasionalisme kritis. Dalam rasionalisme kritis ini, terdapat kritik induktivisme dan falsifikasi yang menjadi topik utama tulisan ini. Oleh karena itu, untuk memahami topik utama tersebut, terlebih dahulu perlu dibahas positivisme logis.
Keberatan pada aliran rasionalisme yang menganggap bahwa kebenaran hanya dapat diperoleh melalui rasio dan akal budi manusia, menjadi salah satu memicu munculnya aliran empirisme. Klimaksnya terjadi pada abad ke 17 yang jalannya telah dipermulus oleh Renaissance, yang mendorong terwujudnya revolusi ilmiah. Pada masa tersebut, cara berpikir berubah secara ekstrim dari melihat dunia yang metafisik ke melihat dunia yang mekanistis. Di sinilah aliran empiris muncul, dan kemudian pada abad ke 18 positivisme logis mulai berkembang. Dunia atau fenomena sudah mulai dihitung, dianalisis secara matematis, dan mekanistis.
Positivisme logis dikembangkan oleh tokoh-tokoh filsafat yang tergabung dalam Lingkaran Wina, antara lain adalah:  Moritz Sclick (1882-1936), Hans Hahn (1880-1934), Otto Nuerach (1882-1945), Hans Reichenbach (1891-1955). Beberapa pandangan positivisme logis dapat diuraikan antara lain sebagai berikut:
1.      Hanya ada satu sumber pengalaman, yaitu pengalaman,  mengenal data-data inderawi.
2.      Berangkat dari pengalaman, dikembangkan metode induksi dalam menyusun suatu ilmu penegetahuan melalui siklus empiris, yaitu observasi, hukum-hukum empiris, teori, dan hipotesa.
3.      Selain pengalaman, diakui pula adanya dalil-dalil logika dan matematika yang tidak dihasilkan lewat pengalaman. Dalil-dalil itu hanya memuat serentetan tautologi-subjek-predikat saja, yang berguna untuk mengolah data pengalaman (inderawi) menjadi satu keseluruhan yang meliputi segala data.
4.      Memiliki minat besar untuk mencari garis batas atau damarkasi antara pernyataan yang bermakna (meanigful) dan yang tidak bermakna (meaningless). Oleh karena itu, filsafat tradisional haruslah ditolak karena ungkapan-ungkapannya melampaui pengalaman.
5.      Ilmu pengetahuan dipandang sebagai logika. Konsekuensinya, Ilmu harus disusun berdasarkan logika formal, sebagaimana halnya yang dilakukan Aristoteles.
6.      Tidak ada konteks penemuan (context of discovery) yang ada hanya konteks pengujian dan pembenaran (context of justification).
D. Karl Raimund Popper  dan Falsifikasi
Popper dalam aliran rasionalisme kritis berangkat dari ketidaksetujuannya terhadap beberapa gagasan dasar Lingkaran Wina yang beraliran positivisme logis. Terutama ia sangat menentang ungkapan yang disebut bermakna (meaningful) dari yang tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kriteria dapat tidaknya dibenarkan secara empiris. Menurutnya, karena empiris merupakan peristiwa yang berkelanjutan, maka ungkapan yang dulunya tergolong meaningless, bisa jadi sangat meaningful nantinya.  Artinya, sangat berbahaya apabila suatu ungkapan apalagi teori dibuat tertutup dengan menyatakannya meaningless, pada perkembangan fenomena termasuk pegalaman atau empiris juga terus berlanjut.
Dengan ketidaksetujuannya terhadap gagasan dasar Lingkaran Wina tersebut, Popper kemudian kembali menghidupkan aliran rasionalisme, yakni aliran yang mendasarkan penemuan ilmunya pada ratio atau akal budi manusia. Bedanya dengan aliran resionalisme yang sesungguhnya bahwa Popper mengkondisikan ilmu pengetahuan masih terbuka terhadap kritik, masih dapat dibuktikan salah (falsifikasi). Di sinilah letak damarkasi ilmu pengetahuan. Inilah yang menjadi dasar mengapa aliran yang dipelopori oleh Popper ini disebut rasionalisme kritis.
Ketidaksetujuannya terhadap gagasan dan cara kerja positivisme logis, mendorong Popper mengemukan beberapa prinsip dalam menerangkan esensi dari rasionalisme kritis. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah Kritik terhadap Induktivisme, Falsifikasi, Trial and Error dan Corroborated. Masing-masing prinsip ini akan diuraikan sebagai berirkut:
1.      Induktivisme
Ilmu pengetahuan empiris yang dihasilkan oleh cara kerja positivisme logis menggunakan cara berpikir induktif. Cara berpikir seperti ini berangkat dari ‘singular statement’ sebagai hasil dari observasi pengalaman,  menuju ’universal statement’ yang berupa hipotesis atau teori.
Menurut klaim dari positivisme logis, metode induktif merupakan logika dalam menemukan ilmu pengetahuan (the logic of scientific discovery). Dalam kenyataannya, siklus positivisme logis dengan metode induktifnya seperti di atas telah berhasil menambah hasanah ilmu pengetahuan.
Popper melihat adanya kelemahan dalam metode induktif di atas. Menurut argumentasinya, metode induktif tidak dapat dipergunakan untuk menyusun universal statement, karena hakekatnya yang selalu berangkat dari singular statement hasil observasi pengalaman empiris.


2.      Falsifikasi
Pernyataan dan teori yang diperoleh melalui empiris atau positivisme logis pada akhirnya mutlak harus disimpulkan apakah pernyataan dan teori tersebut benar atau salah. Artinya, pernyataan dan teori tersebut harus memiliki kesimpulan akhir (conclusively decidable atau conclusive verification). Kalau pernyataan dan teori tersebut tidak dapat mencapai tahap ini, maka keduanya tidak berarti sama sekali.
Untuk mencapai kondisi tersebut, pernyataan dan teori perlu dites melalui bukti empiris. Kalau hasil tesnya menunjukkan bahwa pernyataan dan teori tersebut benar, maka disebut verifiability. Sebaliknya, kalau hasil test empiris tersebut membuktikan bahwa keduanya salah, maka disebut falsiability. Upaya atua tes untuk membuktikannhya salah disebut falsifikasi. Dengan demikian, sistem tes dalam ilmu pengetahuan tidak selalu harus berarti positif (membuktikan benar) tetapi juga harus berarti negatif (membuktikan salah).
Menurut Popper, ciri khas ilmu pengetahuan adalah falsifiable, artinya harus dapat dibuktikan salah melalui proses falsifikasi. Dengan falsifikasi, ilmu pengetahuan mengalami prosess pengurangan kesalahan (error elimination). Proses falsifikasi inilah yang mengantar ilmu pengetahuan tersebut mendekatai kebenaran, namun tetap memiliki ciri falsifiable.
Dengan cara falsifikasilah, hukum-hukum ilmiah berlaku; bukannya dapat dibenarkan melainkan dapat dibuktikan salah. Dengan cara yang sama, ilmu pengetahuan berkembang maju. Bila suatu hipotesa telah dibuktikan salah, maka hipotesa itu ditinggalkan dan diganti dengan hipotesa baru. Kemungkinan lain adalah bahwa hanya salah satu unsur  hipotesa yang dibuktikan salah, sedangkan inti hipotesa lain dapat dipertahankan, maka unsur tadi ditinggalkan dan digantikan dengan unsur baru. Dengan demikian, hipotesa terus disempurnakan, walaupun tetap terbuka untuk dibuktikan salah.
3.      Corroboration
Menurut Popper, teori tidak dapat diverfikasi, tetapi dapat dikoroborasi. Hal ini disebabkan karena teori tidak dapat dikatakan benar atau salah, tetapi mungkin benar atau mungkin salah. Teori kemungkinan kemudian disebut logika kemungkinan (probability logic). Di awalinya sistem ilmu yang terbuka, maka proses falsifikasi terhadap suatu teori atau hipotesa dapat terus dilakukan. Apabila suatu hipotesis tahan uji atau belum dapat dibuktikan salah, maka hipotesis tersebut semakin dikukuhkan atau corroborated.
Untuk mencapai kondisi corroborated, suatu hipotesa perlu diperhadapkan pada serangkaian fakta yang tak terhingga, dengan rentetan verifikasi yang tak terhingga. Dengan demikian, hipotesa tersebut memiliki kualitas koroborasi yang tinggi.
E. Kesimpulan
Rasionalisme dan empiris (positivisme logis) yang merupakan dua aliran yang berada pada dua titik ekstrim diupayakan untuk dipertemukan dalam aliran rasionalisme kritis yang dipelopori oleh Popper. Dalam pandangannya, dia melancarkan kritik terhadap logika induktif yang dipergunakan oleh aliran empirisme dan positivisme logis, sebagai suatu logika yang tidak dapat mengantar pada teori atau general statement yang benar. Sebaliknya, logika deduktif yang dipergunakan oleh aliran rasionalisme dijadikan sebagai logika yang valid dalam menghasilkan teori. Teori baik hasil logika induktif atau deduktif inilah yang kemudian difalsifikasi dan dikoroborasi, agar mendekati kebenaran, namun tetap terbuka.
Sebagai filsuf pertama yang mencoba mensintesakan kedua aliran yang berseberangan tersebut, mungkin logika atau cara Popper belum begitu sempurna, sehingga masih tetap terbuka. Inilah yang kemudian dilakukan oleh murid dan filsuf setelahnya seperti Imre Lakatos yang mencoba menyempurnakan sintesa kedua aliran yang bersebarangan tersebut.
______________________________________________________________
DAFTAR BACAAN

Corvi, R. 1997. An Introduction to the Thought of Karl Popper. London: Routledge.
Gattei, S. 2009. Karl Popper’s Philosophy of Science Rationality Without Foundations. London: Routledge.
Popper, K.R. 1959. The Logic Scientific Discovery. New York: Basic Books.
Popper, K.R. 2008. The Logic of Scientific Discovery. (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
The Liberalism of Karl Popper. Philosophical Notes No. 9, An occasional publication of the Libertarian Alliance, This essay first appeared in Government and Opposition, Vol. II, No. 3, Summer, 1976. John Gray is a Fellow of Jesus College, Oxford.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar