PSIKOLOGI TAQWA
Menghadirkan Diri Hati Dan Jiwa Muttaqien
[Ust. Dr. Yuzarion, S.Ag., S.Psi., M.Si.]*
Idul Adha merupakan momen agung dalam Islam yang mengandung dimensi spiritual mendalam: pelaksanaan ibadah haji, shalat Idul Adha, dan ibadah qurban.
Namun dewasa ini, nilai qurban mulai mengalami pergeseran; dari pengorbanan spiritual menjadi seremoni sosial yang kerap berujung pada ‘pesta bagi-bagi daging’.
Padahal, dalam Surah Al-Kautsar ayat 1-2, Allah Swt menegaskan pentingnya qurban sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat-Nya:
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah.” Qurban bukan semata ritual fisik, melainkan wujud pengabdian, ketundukan, dan latihan melepaskan ego duniawi.
Dengan berqurban, seseorang membangun kesadaran sosial, empati terhadap sesama, serta spiritualitas yang mendalam.
Rasulullah Saw memberikan teladan luhur dalam berqurban. Beliau hanya mengambil sedikit untuk dikonsumsi sepotong hati, selebihnya disedekahkan kepada fakir miskin.
Bahkan beliau melarang memberi bagian qurban kepada penyembelih sebagai upah. Ini menunjukkan bahwa inti qurban bukan pada dagingnya, melainkan pada keikhlasan dan taqwa.
Sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Hajj ayat 37, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah Swt, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”
Idul Adha momentum meraih ridha dan keberkahan-Nya bukan melalui pesta daging, tapi lewat keikhlasan berbagi dan ketundukan kepada-Nya.
Filosofi ikhlas tercermin dalam Surat Al-Ikhlas: meski kata "ikhlas" tak disebut, maknanya meresap dalam keesaan dan ketulusan mengabdi hanya kepada Allah Swt.
Seperti buang hajat yang tuntas, ikhlas berarti melepaskan beban hati tanpa penyesalan, tenang, damai, dan benar-benar selesai, hanya berharap Ridha Allah Swt.
Maguwoharjo, Sleman DI Yogayakarta
Tanggal 25 Dzulqaidah 1446 H/ 24 Mei 2025 H.
Salam Ana Abdoellah
*Magister Psikologi UAD Yogyakarta