Attention Deficit Hyperactivity Disorders
A.
Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa setiap aspek perilaku manusia menjadi
objek perhatian bagi manusia lainnya. Oleh karena itu setiap orang berupaya
dalam kehidupannya berperilaku sesuai dengan tuntutan nilai-nilai dan
norma-norma yang berlaku. Jika orang mampu berperilaku dan bersikap sesuai
dengan tuntutan nilai-nilai dan norma yang ada, maka ia akan mudah melakukan
aktivitas rutinnya, mudah bergaul dengan masyarakat, serta dapat berkomunikasi
dengan orang lain di luar dirinya dengan baik, efektif dan efesien.
Tidak semua orang dapat berperilaku dan bersikap sebagaimana harapan
masyarakat pada umumnya, ada beberapa orang yang tidak mampu berperilaku
seperti yang diharapkan orang lain pada umumnya. Salah satu diantaranya adalah
anak yang mengalami gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (Attention Deficit Hyperactivity Disorders).
Anak ini sering disebut juga dengan anak hiperaktif atau anak yang mengalami
gangguan perilaku.
Anak hiperaktif ini mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian (inattention), tidak sabaran (impulsif)
baik secara fisik maupun secara verbal, serta hiperaktivitas yang tinggi (terlalu
banyak gerakan yang tidak perlu) (Marlina, 2007). Secara umum, anak yang
mengalami gangguan perilaku ini memiliki tingkat kecerdasan yang normal, namun
karena gangguan tersebut mereka menunjukkan underachiever
(prestasi yang dicapai berada di bawah kemampuan yang sebenarnya dimiliki).
Hal ini disebabkan mereka sulit untuk memusatkan perhatian, berkonsentrasi,
mematuhi aturan sekolah, tetap duduk di kelas (tidak berpindah-pindah tempat
duduk), dan sebagainya. Di samping anak ADHD mengalami underachiever, perilaku hiperaktif juga berpengaruh terhadap relasi
sosialnya, mereka dijauhi, disisihkan, diabaikan bahkan ditolak teman sebayanya
(Marlina, 2007). Kemungkinan lain yang dihadapi anak hiperaktif adalah
pemberian label negatif oleh guru, menyebabkan mereka stres dengan lingkungan
sekolah sehingga mereka banyak yang drop-out
dari sekolah (Shepherd, 2010).
Reif & Heimburge (1996) menyatakan bahwa banyak masalah yang dihadapi
guru dan anak dalam proses pembelajaran di kelas. masalah yang bersumber dari anak,
antara lain sering keluar masuk kelas, sering berpindah tempat duduk, suka
mengoceh sendiri dan tidak relevan dengan hal yang sedang dibicarakan,
mengganggu teman, berbicara kotor, tidak mematuhi peraturan sekolah, dan
sebagainya. Sedangkan masalah dari guru adalah mengalami kesulitan mengelola
perilaku anak dalam belajar. Apa yang disuruh guru tidak dilakukan oleh anak,
bahkan cenderung membangkang pada guru. Akibatnya guru kewalahan menghadapi
anak.
Jika dilihat dalam proses pembelajaran anak ADHD, guru lebih banyak
menggunakan metode penugasan dan drill serta belum diterapkannya teknik dan
pendekatan yang mampu mengeliminir perilaku hiperaktif anak tersebut. Anak
hanya diberi tugas-tugas akademik, dilatih namun perilakunya tidak
diperhatikan. Di samping itu guru juga lebih menekankan kepada penguasaan
materi pada anak tanpa membenahi perilaku hiperaktif anak. Anak diberi materi
pelajaran, di sisi lain anak berperilaku yang kurang diharapkan guru, akibatnya
anak sering dimarahi, diberi label sebagai anak pembangkang, anak nakal, dan
sebagainya.
Upaya penanganan terhadap anak-anak ADHD dari waktu ke waktu meningkat
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Peningkatan tersebut dapat
dilihat minimal dari dua sisi, yaitu yaitu dari segi preventif dan kuratif atau
korektif. Upaya-upaya tersebut antara lain dilakukan dengan deteksi dini
terhadap gangguan anak, intervensi dini terhadap kemungkinan yang akan terjadi
pada perkembangan anak. Dari sisi kuratif penanganan perilaku anak-anak dengan
gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas diarahkan untuk menyembuhkan
dan memperbaiki perilaku-perilaku menyimpang yang terjadi pada anak. Dari sisi
ini, penanganan anak dilakukan melalui berbagai pendekatan, baik medis maupun
pedagogis-psikologis. Salah satu pendekatan pedagogis-psikologis adalah dengan metode
applied behavior analysis.
Metode Applied Behavior Analysis
(disingkat dengan ABA) sering digunakan untuk penanganan anak-anak berkebutuhan
khusus salah satunya pada anak-anak dengan ADHD. Metode ABA sangat
representatif bagi penanggulangan perilaku anak dengan ADHD karena memiliki
prinsip yang terukur, terarah dan sistematis; juga variasi yang diajarkan luas;
sehingga dapat meningkatkan keterampilan komunikasi, sosial, motorik halus, dan
motorik kasar. Metode ABA ini sering dipakai karena keberhasilannya mudah
diamati dan mudah diterapkan ke perilaku lain manakala ada kemiripan
karakteristik perilaku yang akan diubah dengan perilaku yang telah berhasil
diubah. Metode ABA
merupakan bagian dari modifikasi perilaku yang secara mendasar bertujuan dalam
dua hal. Pertama, mendukung dan mempromosikan perilaku-perilaku anak yang
adaptif. Perilaku adaptif yang dimaksud adalah perilaku yang diterima oleh
lingkungan dan bermanfaat bagi perkembangan diri anak itu sendiri. Kedua,
modifikasi perilaku bertujuan menekan atau meniadakan munculnya perilaku anak
yang tidak adaptif. Perilaku tidak adaptif adalah perilaku yang cenderung tidak
diterima oleh lingkungan dan akan merugikan anak itu sendiri.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan pendahuluan di atas, maka diajukan permasalahan sebagai berikut
:
1.
Apakah ADHD itu?
2.
Apakah metode Applied Behavior Analysis itu?
3.
Bagaimana dinamika penerapan metode Applied Behavior Analysis pada anak-anak dengan ADHD?
4.
Bagaimana cara mengevaluasi metode Applied Behavior Analysis yang telah dilakukan?
C.
Attention Deficit Hyperactivity
Disorders (ADHD)
1.
Pengertian ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorders)
Istilah ADHD dalam bahasa Indonesia disebut GPPH (Gangguan Pemusatan
Perhatian dan Hiperaktivitas). Orang awam sering menyebutnya dengan hiperaktif
saja. ADHD merupakan perilaku yang berkembang secara tidak sempurna dan timbul
pada anak-anak dan orang dewasa. Perilaku yang dimaksud berupa kekurangmampuan
dalam hal menaruh perhatian, pengontrolan gerak hati serta pengendalian motorik.
Keadaan tersebut menjadi masalah bagi anak-anak (penderita) terutama dalam
memusatkan perhatian terhadap pelajaran sehingga akan menimbulkan kesukaran di
dalam kelas. Penyandang ADHD sering digambarkan sebagai “You don’t mean to
do the things you do to and you don’t do the things you mean to do”. Anak ADHD
bermasalah dengan waktu, sangat terganggu oleh rangsangan dari luar dan tidak
mampu memusatkan perhatian.
Santrock (2002) menyatakan ADHD sebagai suatu kelainan berupa rentang
perhatian yang pendek, perhatian mudah beralih dan tingkat kegiatan fisik yang
tinggi. Dengan arti kata, anak-anak penyandang kelainan ini tidak menaruh
perhatian dan memiliki kesulitan memusatkan perhatian pada apa yang sedang
dilakukannya. Taylor (1992) menyatakan ADHD sebagai pola perilaku seseorang
yang menunjukkan sikap tidak mau diam, tidak menaruh perhatian dan impulsif.
Sedangkan menurut Frances dan Harold (dalam DSM IV) membatasi ADHD sebagai ”..... is a persistent pattern of
inattention and/or hyperactivity-impulsivity that is more frequent and severe
than is typically observed in individuals at a comparable level of development.
ADHD merupakan pola perilaku seseorang yang ditunjukkan dengan
ketidakmampuan memperhatikan, impulsif-hiperaktif yang lebih banyak
frekuensinya jika dibandingkan dengan teman sebayanya. Quay & Werry (1986)
memberikan batasan ADHD sebagai berikut :
”..... Hyperactivity
or ADHD is a significant deficiency in age appropriate attention, impulse
control and rule-governed behavior (compliance, self-control, and
problem-solving) that arises infancy rearly childhood is significantly
pervasive in nature and is not the direct result of general intellectual
retardation, severe language delay or emotional disturbance or gross sensory or
motor impairment.
Jika diterjemahkan secara bebas, hiperaktivitas atau ADHD merupakan
gangguan secara signifikan dalam memperhatikan, kontrol rangsangan dan perilaku
yang sesuai aturan yang muncul sejak kanak-kanak sehingga menyebabkan mereka terganggu
secara emosi, motorik kasar, dan keterlambatan berbahasa.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ADHD
merupakan :
a.
Pola perilaku yang dilakukan oleh anak.
b.
Ketidakmampuan untuk berkonsentrasi atau memusatkan
perhatian.
c.
Aktivitas yang berlebihan.
d.
Tidak mampu mengontrol perilaku.
e.
Aktivitas yang dilakukan tidak tepat dan tidak pantas,
aktivitas tersebut dilakukan terus menerus sepanjang hari.
2.
Gejala-Gejala dan Karakteristik ADHD
Berdasarkan DSM IV (dalam Westwood, 1995) gejala ADHD terdiri atas 3
gejala, yaitu :
a. Inatensivitas
Yakni tidak ada perhatian atau tidak menyimak. Penderita
mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian terhadap sesuatu yang sedang
dihadapinya. Ciri-cirinya adalah :
1)
Gagal menyimak hal yang rinci.
2)
Kesulitan bertahan pada satu aktivitas.
3)
Tidak mendengarkan sewaktu diajak berbicara.
4)
Sering tidak mengikuti instruksi.
5)
Kesulitan mengatur jadual tugas dan kegiatan.
6)
Sering menghindar dari tugas yang memerlukan perhatian lama.
7)
Sering kehilangan barang yang dibutuhkan untuk tugas.
8)
Sering beralih perhatian oleh stimulus dari luar.
9)
Sering pelupa dalam kegiatan sehari-hari.
b. Impulsivitas
Yaitu kemampuan untuk mengontrol perilaku yang lebih
mengutamakan untuk menuruti dorongan hati (tidak sabaran). Impulsif tersebut
berupa impulsif motorik dan impulsif verbal atau kognitif, dengan ciri-ciri
berikut.
1)
Sering memberi jawaban sebelum pertanyaan selesai.
2)
Sering mengalami kesulitan menunggu giliran.
3)
Sering memotong atau menyela orang lain.
4)
Sembrono, melakukan tindakan berbahaya tanpa pikir panjang.
5)
Sering berteriak di kelas.
6)
Tidak sabaran.
7)
Usil, suka mengganggu siswa lain.
8)
Permintaannya harus segera dipenuhi.
9)
Mudah frustrasi dan putus asa.
c. Hiperaktivitas
Tidak bisa diam, yaitu perilaku yang mempunyai
kecenderungan melakukan suatu aktivitas berlebihan, baik motorik maupun verbal,
dengan ciri-ciri:
1)
Sering menggerakkan kaki atau tangan dan sering menggeliat.
2)
Sering meninggalkan tempat duduk di kelas.
3)
Sering berlari dan memanjat.
4)
Mengalami kesulitan melakukan kegiatan dengan tenang.
5)
Sering bergerak seolah diatur oleh motor penggerak.
6)
Sering berbicara berlebihan.
Flick (1998) menyatakan karakteristik anak ADHD yaitu : a) konsentrasi
rendah, kurang memperhatikan; b) mengganggu; c) melamun; d) koordinasi motorik
rendah; e) pasif, tidak memiliki inisiatif; f) gelisah, tidak tenang; g) gagal
dalam menyelesaikan tugas; h) malas; i) impulsif; j) hiperaktif; k) tidak
menarik dan membosankan; dan l) mengantuk. Sedangkan Farnham & Diggory
(1994) mengemukakan ciri-ciri ADHD:
a.
Sangat responsif terhadap rangsang
b.
Mengalami fiksasi (”kemandegan” dalam perkembangan),
yakni perkembangan berhenti pada satu tahapan dan terlihat adanya perilaku
patologisnya seperti mengganggu teman dan sebagainya.
c.
Disinhibition, yakni aktivitas motorik yang terus menerus dinampakkan
sebagai akibat dari hiperaktivitas.
d.
Dissociation, tidak mampu atau tidak dapat berpikir komprehensif, cara
berpikir tidak terintegrasi sehingga aktivitasnya bervariasi.
Karakteristik ADHD
juga dikemukakan Soerais (1994) yaitu:
a.
Memfokuskan terhadap hal-hal yang tidak perlu.
b.
Sulit membedakan antara suara dan pusat rangsangan.
c.
Tidak mampu bereaksi secara reflek, merencanakan atau memonitor reaksi,
memikir berat, memecahkan masalah, menghambat perilaku yang tidak baik.
d.
Lemah dalam memodulasi aktivitas, gelisah dan resah, gerakan motorik yang
tidak tertuju, hipoaktif (pada beberapa kasus).
e.
Sulit mencapai kepuasan atau kemantapan, selalu berkeinginan, tidak tenang,
suka menjerit dan merengek, rewel (irritability).
f.
Lemah terhadap respon sanjungan atau hukuman.
g.
Mudah lelah, sulit untuk tetap tegar dan giat, sering menguap.
h.
Sulit tidur di malam hari.
i.
Sulit menyelesaikan tugas.
j.
Sulit bergaul, kurang perhatian.
k.
Sulit mengembangkan minta, mainan dan keterampilan yang disukai.
l.
Disfungsi perkembangan, lambat maturasi syaraf.
Perbedaan jenis kelamin juga menentukan peluang perilaku hiperaktif. Anak
laki-laki mempunyai kemungkinan 3 atau 4 kali lebih besar berperilaku
hiperaktif dibanding anak perempuan. Kemungkinan tersebut terjadi karena anak
perempuan sifat agresifnya tidak begitu berkembang. Selain itu anak laki-laki
lebih mudah berperilaku agresif dibandingkan anak perempuan. Santrock (2002)
membagi perilaku aktif yang berlebih menjadi :
a.
Overaktivitas
Overaktivitas adalah perilaku tidak mau diam, yang
disebabkan oleh himpunan energi yang berlebihan, yang merupakan suatu tanda
bahwa anak tersebut sehat, cerdas, dan penuh semangat. Dalam waktu sesaat
overaktivitas dapat dialami oleh anak-anak yang keaktifannya normal, kejadian
ini disebabkan adanya ketegangan yang dialami anak.
b.
Hiperaktivitas
Hiperaktivitas adalah perilaku yang terjadi seperti
perilaku overaktivitas, tetapi disertai tindakan yang tidak terarah dan berkepanjangan.
c.
Sindrom Hiperkinetik
Sindrom hiperkinetik adalah perilaku seperti pada
hiperaktivitas yang parah, sering disertai dengan kelambatan dalam perkembangan
psikologis, misalnya sifat kikuk dan kesulitan dalam bicara (speech delay).
Namun, hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa tidak semua gerakan
fisik yang berlebihan merupakan hiperaktif, misalnya anak-anak usia 2 atau 3
tahun biasanya sangat aktif. Perilaku ini wajar karena dalam usia tersebut anak
suka bereksplorasi, yaitu rasa ingin tahu yang cukup besar. Namun demikian,
menurut Osman (2002), jika gerakan
anak yang berlebih tersebut jauh lebih banyak dengan anak seusianya maka yang
perlu diperhatikan adalah :
a.
Gerakan anak hiperaktif tidak terarah, tanpa tujuan dan
tidak sesuai dengan situasi yang dihadapi. Biasanya mereka terus bergerak
kesana kemari tanpa tujuan yang pasti, seolah-olah ada motor penggerak yang ada
dalam dirinya.
b.
Anak tersebut sulit untuk memusatkan perhatian pada satu
hal sehingga sering gagal dalam menyelesaikan tugasnya.
Tanda-tanda tersebut merupakan gejala primer, di samping itu terdapat
tanda-tanda lain yang dinamakan gejala sekunder, yang meliputi :
a.
Yang bersangkutan memiliki harga diri yang rendah.
b.
Mengalami kesulitan akademik.
c.
Menderita kecemasan atau mempunyai toleransi yang rendah terhadap
frustrasi.
d.
Menderita disleksia.
e.
Temperamennya tinggi (sering marah besar tidak sesuai dengan stimulus).
f.
Suasana hati sering labil.
g.
Berperilaku sering tidak menghargai hak-hak orang lain dan tidak
mengindahkan norma-norma sosial yang berlaku di lingkungan masyarakat (Taylor,
2000).
Dalam
membahas karakteristik ADHD di atas, ada 3 istilah yang sering muncul yakni,
ciri-ciri primer, ciri-ciri sekunder, dan ciri-ciri khusus. Ciri-ciri primer
merupakan karakteristik pokok anak ADHD yaitu 1) inatensivitas: tidak mampu
memberikan perhatian, 2) impulsivitas: tidak sabaran, dan 3) hiperaktivitas.
Sedangkan ciri-ciri sekunder merupakan akibat dari ciri-ciri pokok, yaitu 1)
agresif, 2) gagal dalam kegiatan akademik, 3) hubungan dengan teman sebaya
kurang baik, 4) koordinasi motorik kurang baik, 5) dan kurang disiplin.
Ciri-ciri khusus merupakan karakteristik khusus yang melekat pada anak ADHD
yaitu: 1) hiperaktif, 2) tidak dapat berpikir berat, 3) sulit tidur, dan
sebagainya.
3.
Tipe-tipe ADHD
Para ahli membuat penggolongan ADHD dengan asumsi
yang tidak sama, secara umum ada 4 dasar penggolongan anak ADHD, yaitu : (1)
penggolongan berdasarkan gejala-gejala perilaku, (2) penggolongan berdasarkan
jenis kelainan perilaku, (3) penggolongan berdasarkan penyebab, dan (4)
penggolongan berdasarkan berat ringannya penyimpangan perilaku. Berikut ini
akan dijelaskan satu persatu penggolongan tersebut.
a.
Penggolongan Berdasarkan Gejala-Gejala Perilaku
Klasifikasi dari American Psychiatric Association (APA) yang dikemukakan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder IV (DSM IV), menggolongkan perilaku ADHD dalam behavior disorder, karena itu APA
menyebut gangguan perilaku tersebut dengan ADHD. DSM IV menggolongkan ADHD pada
3 tipe yaitu :
1)
Predominantly Inattentive (Kecenderungan Kurang Perhatian)
Anak dinyatakan termasuk dalam tipe ini jika terdapat paling tidak ada 6
gejala inattention atau lebih.
Ciri-ciri tipe inattentive
dikemukakan oleh Alonzo (1996) yakni :
Inattention. This classification results from behaviours such as
inattention to detail, careless mistakes in life activities such as schoolwork,
ADHD difficulty in sustaining attention and listening, incompletion of assigned
task, organizational skill deficits, losing and misplacing materials, being
easily distracted, avoiding tasks requiring sustained effort and forgetfulness.
Jika diterjemahkan secara bebas, ADHD yang digolongkan inattentive memiliki ciri-ciri yaitu :
(a) sembarangan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, seperti tugas-tugas
sekolah sehingga sering melakukan kesalahan; (b) kesulitan dalam memberikan
perhatian atau mendengarkan; (c) tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas yang
diberikan; (d) minimnya keterampilan organisasional; (e) sering kehilangan dan
salah menempatkan sesuatu benda; (f) mudah terganggu oleh stimulus dari luar;
(g) menghindari tugas-tugas yang membutuhkan upaya; dan (h) sering pelupa.
2)
Predominantly Hyperactive-Impulsive Type (Kecenderungan Dominasi Hiperaktif-Impulsif)
Alonzo (1996) menyatakan anak yang tergolong tipe
ini memiliki 6 gejala atau lebih yang terdapat pada karakteristik
hiperaktif-impulsif, yaitu:
Hyperactivity. This classification results from
behaviours such as being fidgety, leaving assigned areas, running about
excessively, difficulty engaging or playing activities quietly, appearing to be
in constant emotion, and talking excessively.
Impulsivity. Blurting out answers, difficulty
awaiting turn, and interrupting and intruding on others characterize this
category.
Hiperaktivitas. Perilaku ini
ditandai dengan: gelisah, meninggalkan tempat duduk, lari-lari berlebihan,
sulit melakukan aktivitas yang menuntut untuk diam, bicara berlebihan, gerakan
yang dilakukan konstan. Impulsif. Ditandai dengan menyela pembicaraan orang
lain, sulit menunggu giliran, berkata dan memberikan jawaban tanpa berpikir lebih
dahulu.
3)
Combined Type (Tipe Kombinasi)
Tipe ini ditemukan pada ciri-ciri tipe hiperaktif-inattentif dan
ciri-ciri hiperaktif-impulsif. Kriteria diagnostik untuk menetapkan tipe
kombinasi ini menggunakan kriteria DSM IV dalam American Psychiatric Association (APA), yaitu :
1)
Dapat menggunakan kriteria (a)
dan (b) atau dapat juga keduanya.
(a)
Enam gejala inattention, atau tidak ada menyimak
atau tidak ada perhatian berlangsung paling sedikit 6 bulan, dengan
gejala-gejala sebagai berikut :
(1)
Gagal menyimak hal yang rinci.
(2)
Kesulitan bertahan pada satu aktivitas.
(3)
Tidak mendengarkan sewaktu diajak berbicara.
(4)
Sering tidak mengikuti instruksi.
(5)
Kesulitan mengatur jadual tugas dan kegiatan.
(6)
Sering menghindari tugas yang memerlukan
perhatian lama.
(7)
Sering kehilangan barang yang dibutuhkan untuk
tugas.
(8)
Sering beralih perhatian oleh stimulus dari luar.
(9)
Sering pelupa dalam kegiatan
sehari-hari.
(b)
Enam atau lebih gejala
hiperaktif-impulsif, berlangsung paling sedikit 6 bulan, tidak memiliki
kemampuan beradaptasi dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan. Gejala
tersebut adalah :
Hiperaktif :
(1)
Sering menggerakkan kaki dan tangan dan sering
menggeliat.
(2)
Sering meninggalkan tempat duduk di kelas.
(3)
Sering berlari dan memanjat.
(4)
Mengalami kesulitan melakukan kegiatan dengan
tenang.
(5)
Sering bergerak seolah diatur oleh motor penggerak.
(6)
Sering bicara berlebihan.
Impulsif, dengan gejala sebagai
berikut :
(1)
Sering memberi jawaban sebelum pertanyaan
selesai.
(2)
Sering mengalami kesulitan menunggu giliran.
(3)
Sering memotong atau menyela orang lain.
(4)
Sembrono, melakukan tindakan berbahaya tanpa
pikir panjang.
(5)
Sering berteriak di kelas.
(6)
Tidak sabaran.
(7)
Usil, suka mengganggu anak lain.
(8)
Permintaannya harus segera dipenuhi.
(9)
Mudah frustrasi dan putus asa.
2)
Beberapa gejala
hiperaktif-impulsif (inattentive) ada
pada anak sebelum usia 7 tahun.
3)
Beberapa gejala terjadi pada
dua situasi atau lebih, misalnya di rumah, di sekolah dan di tempat kerja.
4)
Harus ada bukti secara klinis
dan signifikan mengenai kelemahan pada fungsi sosial akademik atau pekerjaan.
5)
Gejala-gejala tersebut bukan
schizophrenia atau jenis psikosis lainnya.
Dengan demikian, berdasarkan DSM IV ini seorang anak
dikatakan mengalami ADHD apabila terdapat 6 atau lebih gejala inattention dan 6 atau lebih gejala
hiperaktif-impulsif. Gejala tersebut ada pada anak umur 7 tahun dan berlangsung
pada dua situasi atau lebih dan kelemahan fungsi sosial akademik dibuktikan
secara klinis.
b.
Penggolongan Berdasarkan Jenis Kelainan Perilaku
Shepherd (2010) menggolongkan ADHD berdasarkan
kelainan perilaku. Ia menyebut ADHD dengan sebutan hiperaktif, dan ia mengemukakan
ada 3 bentuk hiperaktif, yaitu hiperaktif sensoris, hiperaktif motoris, dan
hiperaktif campuran. Penjelasan untuk masing-masing bentuk hiperaktif tersebut
akan dipaparkan berikut ini.
1)
Hiperaktif Sensoris
Hiperaktif sensoris disebabkan adanya kelainan atau cidera otak. Kelainan
ini menyebabkan penderita tidak sanggup merespon segala sesuatu yang tidak
perlu atau tidak ada hubungannya. Setiap rangsangan yang datang, tanpa diseleksi
apakah rangsangan itu penting atau tidak bagi kegiatan yang sedang dijalankan.
Setiap rangsangan baik berupa gerakan, bau, warna, bunyi atau peristiwa akan
merangsang anak untuk mengalihkan perhatiannya. Anak yang mengalami hiperaktif
sensoris, karena kelemahan neurologis tidak sanggup menahan diri terhadap
setiap rangsangan yang datang padanya.
2)
Hiperaktif Motoris
Hiperaktif motoris terjadi karena adanya gangguan neurologis, sering
disebut dengan disinhibisi motoris atau
sindrom hiperkinetik, yang merupakan ketidakmampuan untuk bertahan terhadap
rangsangan yang menimbulkan respon motorik. Hiperaktif motoris kebalikan dari
hiperaktif sensoris, mereka mengalami “reaksi katastropis”, yaitu keseluruhan
tubuh bereaksi dengan cara yang tidak dapat dikendalikan. Anak ini ingin selalu
melakukan aktivitas yang tidak diperlukan selalu dilakukan.
Segala sesuatu yang dalam daerah penglihatan anak atau yang dapat dicapai
atau dipegang, didorong, ditarik, diputar, diikat, maupun dibalikkan menjadi
suatu perangsang yang bagi anak terpaksa ia merespon. Jika ia sekolah,
benda-benda seperti pensil, buku-buku, kertas dan alat tulis lainnya tidak
dapat membantu anak malah menjadi pengganggu anak dalam belajar.
Anak yang mengalami kelainan ini jika mendengar bunyi yang keras atau
mengalami situasi yang tidak diharapkan dapat menjadi kacau, cemas, ataupun
gelisah. Anak memang tidak selalu bereaksi secara fisik, tetapi nampak bingung
dan ragu-ragu serta meresponnya tidak rasional. Perilaku anak kemudian menjadi
tidak masak, dan mereka menjadi tidak agresif baik dalam kata-kata maupun
gerak. Anak yang mengalami kelainan ini mendapat kesulitan dalam belajar
keterampilan motorik halus. Anak yang tidak dapat mengontrol aktivitas
motoriknya akan mengalami kesulitan dalam kegiatan yang dilakukan dengan duduk
seperti: menulis, menalikan sepatu, dan mengiris makanan maupun makan.
Kegiatan-kegiatan yang sederhana itu dapat merangsang anak pada gerakan-gerakan
yang berlebihan. MIsalnya, sedang menggosok gigi ia akan terganggu dengan
adanya aliran air. Perilaku hiperaktif motoris ini berbeda-beda derajatnya untuk
setiap individu.
3)
Hiperaktif Campuran
Kadang-kadang tipe hiperaktif motoris diikuti oleh gejala hiperaktif
sensoris, sehingga seorang anak dapat memiliki ciri-ciri yang ada pada
hiperaktif motoris dan hiperaktif sensoris, ini yang disebut tipe hiperaktif
campuran. Shepherd (2010) membagi hiperaktif menjadi 2 tipe, yaitu tipe brain-injured dan tipe non-brain-injured. Tipe “brain-injured” ditandai dengan: (a) perilaku
yang aneh, tidak teratur, berpindah-pindah (erratic);
(b) tidak dapat mengontrol perilakunya (uncontrollable);
dan (c) sangat aktif (overactive).
Sedangkan tipe “non-brain-injured”
yakni tipe hiperaktif yang bukan disebabkan karena luka otak. Tipe ini terdapat
pada anak-anak tunagrahita (mentally
retarded children).
c.
Penggolongan Berdasarkan Penyebab
Flick (1998) menggolongkan ADHD berdasarkan penyebab pada 3 tipe, yaitu :
1)
Tipe ADHD yang disebabkan
gangguan neurologis. Penyebab gangguan neurologis dibedakan pada dua tipe yaitu
ADHD yang disebabkan kerusakan otak (brain
injured dan brain damage) dan
ketidakmasakan sistem saraf pusat. Bila gejala ADHD-nya telah hilang melalui
pengobatan medis dan latihan, maka gejala tersebut tidak dapat hilang secara
keseluruhan, begitu juga karena ketidakmasakan sistem saraf pusat, masih ada
gejala ADHD yang tertinggal misalnya ada gangguan pemusatan perhatian.
2)
Tipe ADHD yang disebabkan
karena faktor perkembangan. Termasuk di dalamnya faktor genetika dan faktor
biologis.
3)
Tipe ADHD yang disebabkan
karena faktor psikogen. Tipe ini disebabkan karena faktor lingkungan, misalnya
pola asuh orangtua yang menyebabkan anak mengalami konflik dan tertekan.
d.
Penggolongan Berdasarkan Berat Ringannya Penyimpangan
Perilaku
1)
Tipe ADHD Berat
ADHD tipe ini sering disebut
hiperkinetik, Quay & Werry (1986) mengemukakan ada 3 tipe hiperkinetik,
yaitu : 1) simple disturbance of activity
and attention (yakni daya perhatian sangat rendah, perilaku kacau,
aktivitas sangat tinggi); 2) hyperkinesis
with developmental delay (berkaitan dengan gangguan bicara, gangguan
koordinasi motorik, dan gangguan akademik); dan 3) hyperkinetic conduct disorder (berkaitan dengan gangguan perilaku
yang tidak disebabkan karena gangguan perkembangan).
2)
Tipe ADHD Ringan
Penderita masih bisa mengontrol
perilakunya. Tipe-tipe ADHD ini perlu dipahami terutama bagi pihak yang
memberikan pelayanan, karena setiap tipe membutuhkan pendekatan layanan yang
berbeda.
D.
Metode Applied Behavior Analysis (ABA)
1.
Pengertian Metode Applied Behavior Analysis (ABA)
Perilaku, kelakuan, atau tindak tanduk merupakan hasil interaksi seseorang
dengan lingkungan. Dalam pengertian luas, perilaku mencakup segala sesuatu yang
dilakukan atau yang dialami seseorang. Dalam pengertian sempit, perilaku
dirumuskan sebagai reaksi yang dapat diamati secara umum atau objektif
(Chaplin, 2009). Modifikasi perilaku merupakan fokus dari model perilaku, yang
berusaha mengubah perilaku yang tidak dikehendaki dengan menerapkan
prinsip-prinsip belajar secara sistematis kearah cara-cara yang lebih adaptif.
Penerapan modifikasi perilaku menggunakan beberapa prinsip teori perilaku,
Joyce & Weil (1996) menyatakan: (1) perilaku sebagai sesuatu yang bisa
diamati (observable) yakni gejala
yang bisa diidentifikasi, (2) perilaku yang maladaptif diperoleh melalui
belajar dan dapat diubah dengan prinsip-prinsip belajar, (3) tujuan dari
perilaku tersebut spesifik, deskrit dan individual, dan (4) teori perilaku
menitikberatkan pada “saat kini dan di sini”. Joyce & Weil (1996)
menambahkan bahwa teori perilaku terdiri dari dua model, yaitu: (1) model operant conditioning (Skinner), yang
menekankan pada peran lingkungan (khususnya hadiah dan hukuman) dan (2) model counterconditioning (Wolpe), yakni
menekankan pada prosedur penggantian perilaku adaptif menjadi respon yang
maladaptif. Model yang digunakan dalam makalah ini adalah model operant conditioning (Skinner).
Corey (1991) mengemukakan ada 4 ciri-ciri modifikasi perilaku, yaitu :
a.
Pemusatan perhatian kepada perilaku yang tampak dan spesifik.
b.
Kecermatan dan penguraian tujuan treatmen.
c.
Perumusan prosedur treatmen yang spesifik.
d.
Penafsiran objektif atas hasil terapi.
Pada dasarnya modifikasi perilaku diarahkan pada tujuan memperoleh perilaku
yang baru, penghapusan perilaku yang maladaptif, mengurangi perilaku menyimpang
serta memperkuat dan mempertahankan perilaku yang diinginkan. Salah satu bagian
dari modifikasi perilaku adalah applied
behavior analysis yakni ilmu yang menerapkan secara sistematis
prinsip-prinsip keperilakuan untuk mengubah perilaku yang signifikan secara
sosial serta untuk menunjukkan bahwa prosedur yang digunakan dapat
dipertanggungjawabkan untuk mengubah perilaku.
Cooper, dkk (2007) mendefeniskan applied
behavior analysis sebagai “the
science in which tactics derived from the principles of behavior are applied
systematically to improve socially significant behavior and experimentation is
used to identify the variables responsible for behavior change”. ABA didefenisikan sebagai ilmu yang
menerapkan prinsip-prinsip perilaku secara sistematis untuk meningkatkan
perilaku yang signifikan secara sosial dan
menggunakan eksperimentasi untuk mengidentifikasi variabel-variabel yang
bertanggung jawab terhadap perubahan perilaku. Menurut Slavin (1996) applied behavior analysis merupakan proses
dalam mengaplikasikan prinsip-prinsip perilaku tentatif yang bertujuan untuk
meningkatkan perilaku spesifik dan penilaiannya dilakukan secara simultan.
Alberto & Troutman (2008) mendefenisikan ABA sebagai penerapan yang
sistematis dari prinsip-prinsip perilaku untuk mengubah perilaku menjadi
perilaku yang lebih bermakna yang signifikan secara sosial, serta memverifikasi
kaitan antara perilaku dan intervensi yang diberikan.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa applied behavior analysis merupakan penerapan prinsip-prinsip dari
teori perilaku yang bertujuan untuk mengubah, memperbaiki, dan meningkatkan
perilaku spesifik menjadi perilaku perilaku yang diterima secara sosial.
2.
Tujuan dan Karakteristik Applied Behavior Analysis (ABA)
Slavin (1996) menyatakan apllied behavior analysis bertujuan untuk : (a) to increase behavior;
(b) to teach a new skill; (c)
to maintain behaviors; (d)
to generalize or to transfer behavior from
one situation or response to another; (e) to
restrict or narrow conditions under which interfering
behaviors occur and (f)
to reduce interfering behavior.
Jika diterjemahkan secara bebas, maka apllied behavior analysis bertujuan untuk: (a) meningkatkan
perilaku, (b) mengajarkan keterampilan yang baru, (c) mempertahankan perilaku,
(d) mentransfer perilaku dari satu situasi ke respon yang lain, (e) membatasi
atau mengawasi suatu perilaku yang muncul, dan (f) mengurangi pertentangan
perilaku.
Sedangkan Heward, dkk (2005) apllied behavior analysis memiliki
karakteristik berikut :
a. Applied. ABA memfokuskan diri pada perubahan
perubahan perilaku yang signifikan secara sosial dan meningkatkan kehidupan.
Para ahli perilaku tidak hanya mempertimbangkan perubahan perilaku pada jangka
tetapi juga memperhatikan bagaimana perubahan perilaku itu mempengaruhi
individu dan orang-orang di sekitarnya. Misalnya: keterampilan sosial,
berbahasa, keterampilan akademik, aktivitas kehidupan sehari-hari, merawat
diri, dan sebagainya.
b. Behavioral. Bahwa perilaku tersebut harus bisa
diukur secara objektif dan harus berubah. Artinya perilaku tersebut butuh
peningkatan, serta menggunakan pengukuran yang reliabel.
c. Analytic. Bahwa para ahli perilaku harus
menunjukkan kontrol terhadap perilaku yang diubah dengan memastikan bahwa
intervensi perilaku tersebut sesuai dengan standar etik setempat. Artinya
ada hubungan fungsional antara variabel yang dimanipulasikan dengan target
behavior (perilaku target). Pemberi treatment dapat mengontrol kejadian
atau bukan kejadian pada perilaku. Dengan demikian, sangat besar kemungkinannya
mengontrol perilaku yang lebih besar cakupannya.
d. Systematic. Prosedur dan intervensi ABA harus
dibuat sedetil mungkin sehingga peneliti lain yang ingin mengulang intervensi
tersebut dengan kondisi yang sama akan menghasilkan hasil yang sama juga.
e. Generalizeable. Hasil dari intervensi berbasis ABA bisa
diberlakukan pada waktu, tempat dan setting yang lain, tidak hanya pada
perilaku yang diubah saat itu juga.
f. Data‐based. Metode ABA menggunakan pengukuran frekuensi
perilaku yang muncul yang secara langsung bisa dianalisis untuk mengetahui
keberhasilan atau kegagalan sehingga dapat diubah sesegera mungkin.
3.
Langkah-langkah Penerapan
Metode ABA
Flick (1998) menyatakan tahapan dalam melaksanakan metode ABA, sebagai
berikut:
a.
Mengidentifikasi perilaku sasaran (target
behavior) dan pengukuh.
b.
Menetapkan baseline (kondisi
awal) dari perilaku sasaran.
c.
Memilih pengukuh dan kriteria pemerkuat (reinforcement).
d.
Memilih penghukum dan kriteria hukuman (jika perlu).
e.
Mengamati perilaku selama pelaksanaan program dan membandingkannya dengan
perilaku baseline.
f.
Ketika modifikasi perilaku sedang diberikan, frekuensi
penguatan dikurangi.
Slavin (1996) menambahkan langkah-langkah
penerapan metode ABA sebagai berikut :
a. Menentukan tujuan perlakuan, tujuan dispesifikasikan.
b. Menentukan jenis perilaku yang akan diubah, dikurangi
atau dipertahankan secara konkrit.
c. Memilih dan melakukan prosedur yang sesuai dengan
memperhatikan tingkat efektivitasnya.
d.
Mengevaluasi hasilnya dan perbaikan yang berkesinambungan.
e.
Perilaku yang sudah muncul sesuai harapan pertahankan sampai perilaku yang
sesuai diharapkan muncul.
Sedangkan Corey (1991) membuat tahapan yang lebih terperinci, yaitu:
a.
Pertama, tahap
classical conditioning, dihasilkan dari individu yang pasif, menekankan
pada stimulus-respon. Pada tahap ini bagaimana memberikan situasi yang aman,
bebas dari ancaman tidak rasa takut, memberikan stimulus agar respon yang
diharapkan dapat muncul. Individu cenderung pasif sedangkan terapis lebih
aktif.
b.
Kedua, tahap
operant conditioning. Pada tahap ini terjadi perubahan perilaku dapat
berfungsi sebagai penguat-ulang (reinforcer).
Agar suatu perilaku yang diharap terus bertahan. Apabila suatu perubahan
perilaku tidak menghasilkan penguat-ulang maka kecil kemungkinannya perilaku
yang diharapkan itu muncul berubah. Tahap ini lebih menekankan pada respon.
c.
Ketiga, tahap kognitif behavioristik. Awalnya metode ABA
mengesampingkan konsep berpikir (cognitive),
konsep sikap dan konsep nilai. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, mulai
memperhatikan konsep berpikir (kognitif) dalam melakukan terapi. Konsep ini
diberi nama terapi pengubah perilaku atau lebih dikenal dengan modifikasi
perilaku. Modifikasi perilaku ini sebagai pengalaman dasar hasil penelitian
dengan tujuan memgatasi masalah pribadi dan sosial serta meningkatkan fungsi
dari modifikasi perilaku.
4.
Prinsip-prinsip Penggunaan
Metode ABA
Metode ABA menggunakan pendekatan operant
conditioning (Skinner). Metode yang digunakan adalah metode shaping, yaitu suatu metode pengarah
perilaku. Perilaku-perilaku anak terus diarahkan menuju perilaku yang lebih
adaptif. Pada pendekatan ini perilaku yang akan diubah dibagi dalam unit-unit
atau bagian-bagian. Pengubahan perilaku dilakukan setiap bagian, dengan
memberikan reinforcement setiap
bagian setelah ada respon yang sesuai atau mendekati perilaku yang diharapkan.
Apabila sudah berhasil baru menuju pada bagian selanjutnya, demikian
seterusnya. Misalnya memperbaiki motorik halus melalui kegiatan menulis.
Kegiatan menulis ini dibagi dalam beberapa bagian, mengambil pensil atau buku,
meraut pensil, memegang pensil, menulis, menulis dengan aturan dan arahan guru.
Anak diberi stimulus agar mau melakukan kegiatan ini bagian per bagian. Setelah
berhasil melakukan kegiatan per bagian diberikan reinforcement sebagai penguat sampai pada tahap akhir, yaitu
menulis berdasarkan aturan dan arahan guru.
Prinsip pelaksanaan shaping
adalah penggunaan reinforcement dan extinction, merupakan alat yang dapat
digunakan untuk membuat atau membentuk perilaku operant yang baru. Sebelum memulai membentuk perilaku, harus
diyakini bahwa reinforcer (penguat)
yang dipakai adalah efektif untuk mengubah perilaku yang dikehendaki. Shepherd
(2010) menjelaskan agar metode shaping
ini dapat terlaksana dengan baik jika dilakukan dengan memisahkan anak dari reinforcer untuk beberapa waktu sebelum shaping dimulai. Selanjutnya dianalisis
perilaku sebenarnya yang akan dibuat.
Prosedur umum yang digunakan dalam shaping
dimulai dengan memisahkan anak dari reinforcer,
hal ini dimaksudkan untuk menaikkan tingkat aktivitas anak atau menaikkan
respon. Respons yang mirip dengan respon yang diinginkan perlu diberikan reinforcement. Pemberian reinforcement yang selektif akan
meningkatkan frekuensi dari variasi respon yang sudah diperkuat. Setelah
perilaku yang kuat terbentuk dan berulangkali berlangsung, reinforcement dihentikan. Kalau terjadi penurunan perilaku, maka
perlu diberikan reinforcement kembali
dengan respon yang lebih mendekati tujuan, terus dilakukan sampai respon
menjadi benar-benar kuat sehingga sudah menjadi kebiasaan.
Extinction menunjukkan suatu prosedur dimana respon yang mulanya
telah diperkuat tidak lagi diperkuat, akibat respon atau frekuensi operan akan
menurun secara bertahap. Meskipun demikian perilaku itu tidak lenyap begitu
saja, tetapi melalui setahap demi setahap. Extinction
adalah menghapus respon atau mengurangi, mengeliminasi respon atau membawanya
kembali ke tingkat semula sebelum adanya reinforcement.
Extinction dapat menghasilkan
turunnya frekuensi respon dan dapat kenaikan kegiatan merespons segera setelah extinction dimulai. Contohnya
meningkatkan perilaku belajar, setelah terbentuk kebiasaan belajar, reinforcement yang dihentikan justru
meningkatkan perilaku belajar, atau sebaliknya justru akan menurun bahkan
hilang.
Berdasarkan uraian di atas tentang metode shaping, dapat disimpulkan ada
tiga langkah pokok untuk melakukan metode shaping,
yaitu :
a.
Analisis perilaku yang akan diubah itu ke dalam bagian-bagian
atau unit-unit.
b.
Tentukan reinforcement
yang akan diberikan.
c.
Tentukan cara, saat, dan jenis reinforcement.
Dalam menentukan jenis reinforcement
perlu diingat setiap individu tidak sama. Ada anak yang senang diberi permen
cokelat, ada yang suka diajak jalan-jalan, tetapi ada juga yang hanya diberi
anggukan, senyuman sudah merupakan “reward”
atau reinforcement positif, yang
dapat menimbulkan, mempertahankan atau memperkuat perilaku yang diharapkan.
Waktu pemberian reinforcement perlu
diperhatikan. Reinforcement dapat
diberikan setiap saat muncul respon yang dikehendaki, tetapi dapat juga
diberikan dengan menentukan secara ratio, misalnya setelah sekian kali
melakukan akan diberikan “reward”. Reinforcement mempunyai fungsi
mempertahankan respon atau perilaku yang dikehendaki dan mempercepat terjadinya
respon atau perilaku yang dikehendaki. Terapi perilaku dan modifikasi perilaku
perbedaannya tidak terlalu mendasar, bahkan dapat dikatakan tidak ada.
E. Aplikabilitas Metode ABA pada Anak ADHD
Metode ABA yang diterapkan pada anak ADHD menggunakan berbagai pendekatan.
Shepherd (2010) mengemukakan pendekatan yang sering digunakan dalam modifikasi
perilaku, yaitu: relaksasi, desensitisasi sistematik, latihan kepekaan,
peniruan melalui model, operant
conditioning, pengusaan diri, kejenuhan, pelatihan asertivitas, dan
kondisioning melalui penolakan. Dari beberapa teknik tersebut yang sering
digunakan untuk mengubah perilaku pada anak-anak ADHD adalah peniruan melalui
model, operant conditioning, teknik
pengebalan, dan pelatihan asertivitas. Teknik tersebut akan dijelaskan
satu-persatu.
1.
Peniruan Melalui Model
Tokohnya adalah
Bandura, dengan teorinya Social Learning
Theory yang akhirnya berubah bentuk menjadi Social Cognition Theory. Bandura menjelaskan bahwa teori belajar
sosial merupakan pendekatan yang menjelaskan bahwa perilaku manusia merupakan
hasil interaksi terus menerus antara kognitif, behavioral dan lingkungan
sebagai penentu. Perilaku merupakan produk dari interaksi timbal balik antara person dan lingkungan. Salah satu teori
Bandura adalah belajar model, yakni proses belajar melalui imitasi dengan
mengamati model atau tokoh atau beberapa orang teladan yang berperan sebagai
perangsang terhadap pikiran, sikap subjek pengamat tindakan sehingga akan
terbentuk perilaku yang baru (Bandura, 1977).
Dalam melaksanakan
teknik modelling, ada 2 tahapan yang
harus diperhatikan, Shepherd (2010) menyatakan sebagai berikut : (1) tahap
pemilikan, yakni tahap masuknya perilaku dalam perbendaharaan perilaku subjek,
subjek mengamati dan mempelajari perilaku model yang diamati; (2) tahap
pelaksanaan, yakni subjek melakukan perilaku yang telah dipelajari dari model.
Shepherd menambahkan ada beberapa langkah dasar yang perlu diperhatikan dalam mengimplementasikan
prosedur modeling, yaitu :
a.
Mengenali dan menentukan perilaku awal (baseline)
yang akan diubah melalui modeling.
b.
Menentukan prakiraan urutan perilaku yang akan diperagakan dari yang paling
kecil tingkat resiko kecemasannya ke yang paling besar.
c.
Menentukan pengukuh (reinforcement)
yang akan diberikan bila subjek berhasil melakukan apa yang dirancangkan.
d.
Melaksanakan rancangan prosedur modeling yang telah dirancang.
e.
Mengubah jadual pengukuh untuk memastikan bahwa perilaku telah dikuasai
oleh subjek.
f.
Mempertahankan perilaku subjek yang telah terbentuk dan berupaya melakukan
generalisasi perilaku yang telah dikuasai subjek.
2.
Operant Conditioning
Operant conditioning menunjukkan suatu proses modifikasi unit-unit perilaku
alih peristiwa-peristiwa yang mengikuti perubahan tersebut. Pendekatan ini
ditandai dengan analisis deterministik dan eksperimental suatu perilaku. Selain
itu juga ditandai adanya konsentrasi (pemusatan) pada suatu perilaku operant (respon). Walaupun demikian
pendekatan ini tidak mengabaikan perilaku intrinsik dan refleksif. Penggunaan
pendekatan ini hanya untuk perilaku yang dapat diamati, diukur dan direproduksi
kembali.
Flick (1998)
menjelaskan langkah-langkah penanganan anak ADHD dengan menggunakan pendekatan operant conditioning, yaitu :
a.
Memahami perilaku hiperaktif, seperti : (1) tidak mampu
berkonsentrasi, (2) kurang kontrol dalam berperilaku dan berbicara, (3)
aktivitas sangat tinggi tanpa tujuan, (4) agresif, seperti memukul dan
mengganggu teman, (5) tidak mau mengerjakan tugas-tugas dari guru, dan (6) tidak
mau mengikuti aturan yang dibuat sekolah.
b.
Menentukan perilaku, aktivitas atau keterampilan yang
akan diubah, seperti: (1) tidak mau duduk, (2) tidak mau mendengarkan ketika
guru berbicara, (3) keluar masuk kelas, dan sebagainya.
c.
Membagi perilaku yang akan diubah dalam unit-unit kecil.
d.
Menentukan reinforcement.
e.
Mengubah atau mengajarkan perilaku per bagian secara
sistematik, terstruktur dan dapat dinilai.
f.
Memberikan bimbingan (bantuan+reinforcement), sedikit demi sedikit bantuan tersebut ditiadakan. Perlu
sikap tegas dan disiplin dari guru. Pemberian reinforcement bisa negatif dan positif tergantung kondisi anak. Reinforcement positif misalnya: memberi
kasih sayang, acungan jempol, memangku, memberi sesuatu yang disukai anak
tetapi tidak membawa dampak negatif pada anak. Reinforcement negatif misalnya: menarik tangan, menginjak kaki
(tanpa menimbulkan sakit) setiap anak akan pergi dari tempat duduk, melarang
dengan tegas apabila anak melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki dan
sebagainya. Reinforcement pada anak
hiperaktif sangat subyektif, masing-masing anak tidak sama.
3.
Teknik Pengebalan/Kejenuhan (Saturation)
Merupakan teknik
dengan cara memberikan rangsang yang menimbulkan rasa takut atau cemas yang
diberikan terus menerus. Pengalaman yang dianggap mencemaskan atau menakutkan
tersebut tidak menimbulkan efek negatif pada anak. Flick (1998) menjelaskan
langkah penanganan anak hiperaktif dengan menggunakan pendekatan ini adalah :
a.
Melatih dan membuat kondisi agar anak dalam keadaan
rileks.
b.
Susun faktor-faktor hirarkis dari yang paling tidak
menimbulkan ketakutan sampai yang paling menimbulkan ketakutan.
c.
Berikan pengalaman-pengalaman tersebut secara hirarkhis
sambil membawa anak dalam keadaan rileks.
4.
Pelatihan Asertivitas
Asertivitas
mempunyai makna kemampuan dan kemauan untuk menyatakan secara langsung
berdasarkan kondisi interpersonalnya. Pelatihan asertivitas merupakan prosedur
pengubahan perilaku yang mengajarkan, membimbing, melatih dan mendorong anak
untuk menyatakan dan berperilaku tegas dalam situasi tertentu. Perilaku asertif
adalah perilaku antar personal yang melibatkan aspek kejujuran, keterbukaan
pikiran, perasaan, yang dilakukan dengan mempertimbangkan perasaan dan
kesejahteraan orang lain.
Morris (1985)
menyatakan perilaku asertif digolongkan pada tiga kategori, yaitu: asertif
penolakan, asertif pujian, dan asertif permintaan. Asertif penolakan dapat
dilakukan dengan halus, misalnya “maaf”. Pada anak hiperaktif, terapis dapat
melakukan dengan tegas, misalnya “jangan”, “tidak boleh!”. Pada anak dapat
dilatihkan untuk menyatakan “Maaf, saya tidak mau!”. Asertif pujian ditandai
dengan kemampuan untuk mengekspresikan perasaan setuju, cocok, senang,
mencintai, memuji dan bersyukur. Perilaku ini lebih diarahkan pada kemampuan
mengapresiasikan sesuatu yang dialami dalam dirinya. Misalnya, “Wah, ini cocok
untuk kamu!”. Sedangkan asertif permintaan merupakan latihan untuk meminta
orang lain melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu tanpa tekanan atau
paksaan. Misalnya, “Apakah kamu mau menjelaskan mengapa memukul Annisa?”, dan
sebagainya.
Latihan asertif
dapat dilakukan pada anak-anak yang : (a) mengalami kesulitan untuk mengatakan
“tidak”, (b) tidak dapat mengekspresikan perasaan marah atau tersinggung, (c)
kesulitan mengekspresikan perasaan dan respon-respon yang positif, (d) terlalu
sopan, dan (e) merasa tidak dapat mengekspresikan perasaan dan pikiran.
F.
Evaluasi Metode ABA
Keberhasilan penerapan metode ABA tergantung pada ketelitian dalam
mendefenisikan perilaku yang akan diubah dan menentukan titik awal perubahan. Shepherd
(2010) menyatakan ada tiga langkah yang dilakukan dalam mengevaluasi metode ABA.
1.
Penentuan Tujuan Khusus
Perilaku Target dan Baseline.
Tujuan khusus
perilaku berkaitan dengan jenis perilaku yang akan diubah. Spesifikasi perilaku
yang akan diubah bergantung pada kemampuan mendefenisikan perilaku yang akan
diamati. Keluasan tujuan khusus bergantung pada kemampuan modifikator dan
kompleksitas perilaku. Makin spesifik tujuan yang ditentukan makin mudah dalam
mengimplementasikan dan makin mudah mengevaluasi keberhasilan program
modifikasi perilaku. Tujuan khusus modifikasi perilaku hendaknya memenuhi tiga
kriteria, yaitu : (1) spesifik, merupakan perilaku yang spesifik yang berbeda
dengan yang lain, baik bentuk, frekuensi maupun durasinya; (2) dapat diukur,
yakni perubahan tersebut dapat diamati untuk ditentukan frekuensi, intensitas
dan durasinya; dan (3) dapat diulangi kemunculan perilaku sebagai upaya untuk
mengetahui arah perubahan perilaku.
Evaluasi
pelaksanaan metode ABA diukur melalui 3 model, yaitu AB, ABAB, dan multiple baseline. Model AB merupakan
model yang paling sederhana, A dimaknai sebagai baseline sedangkan B sebagai perubahan perilaku yang terjadi. Model
ABAB merupakan model yang lebih komplit, dimana A sebagai baseline (rerata kemunculan perilaku awal), B sebagai pemberian
perlakuan, A perilaku tersebut diamati kembali (pembalikan) atau baseline kedua, dan B sebagai perlakuan.
Model multiple baseline tidak
tergantung pada kondisi pembalikan (reversal) terhadap baseline kedua, tetapi lebih ditunjukkan pada munculnya perilaku
sejenis atau yang diindikasikan mendekati dengan perilaku yang diharapkan
muncul pada modifikasi perilaku yang dilaksanakan. Model ini cocok untuk
menguji konsistensi perilaku dalam berbagai situasi.
2.
Teknik-teknik Pengukuran Metode
ABA
Hal ini berkaitan
dengan cara merekam perilaku. Oleh karena itu ketepatan dalam pengamatan dan
perekamannya akan menentukan hasil evaluasi program modifikasi perilaku yang
dilaksanakan. Flick (1998) memberikan kriteria dalam membuat pengukuran dalam
bentuk rekaman hasil pengamatan, yaitu: (1) ketelitian respon, (2) kecepatan
respon, (3) kekuatan respon, (4) daya tahan respon untuk hilang, (5)
kemungkinan respon terkontaminasi dengan respon lain, (6) kemungkinan munculnya
respon lain, dan (7) usaha subjek untuk memunculkan respon.
Dalam pengukuran
perilaku dikenal adanya tiga cara mengukur perilaku yaitu grafik, frekuensi,
dan durasi. Grafik digunakan untuk mengukur perilaku tunggal yang diharapkan
muncul pada periode tertentu dari suatu observasi perilaku. Frekuensi paling
sering digunakan untuk menentukan banyaknya perilaku untuk diamati itu muncul.
Dalam menentukan frekuensi, satuan waktu pengamatan dirumuskan untuk membatasi
banyaknya perilaku itu muncul. Misalnya dalam menit, jam, hari, atau minggu.
Durasi waktu digunakan untuk menentukan ukuran perilaku dari aspek berapa lama
perilaku itu muncul, misalnya satuan detik atau menit. (DuPaul & Stoner,
1994).
G.
Pembahasan
Aplikasi metode ABA dalam dunia pendidikan luar biasa sangat membantu
praksis penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus terutama dalam
pengubahan dan pembentukan perilaku, meningkatkan perilaku ke arah yang lebih
baik, penghapusan perilaku yang maladaptif, mengurangi perilaku menyimpang
serta memperkuat dan mempertahankan perilaku yang diinginkan. Dengan demikian,
pelaksanaan metode ABA ditandai dengan perilaku yang tampak, spesifik,
kecermatan dan penguraian tujuan treatmen, perumusan prosedur treatmen yang
spesifik, dan adanya penafsiran objektif atas hasil terapi.
Metode ABA jika dilakukan sesuai dengan sistematikanya akan memberikan
hasil yang baik. Namun, di beberapa lembaga atau klinik layanan anak-anak
bekebutuhan khusus penerapan metode ABA kurang optimal dilakukan. Alhasil,
banyak orangtua yang mengeluhkan karena anaknya belum menunjukkan perubahan
yang signifikan dari penerapan metode AB. Padahal metode ini bertujuan untuk
mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan oleh anak supaya bisa kembali ke jalur
perkembangan yang normal. Keterampilan yang
diajarkan adalah kepatuhan, kemampuan berkomunikasi, sosialisasi, akademik, dan bantu diri.
diajarkan adalah kepatuhan, kemampuan berkomunikasi, sosialisasi, akademik, dan bantu diri.
Ada beberapa penyebab mengapa pelaksanaan metode ABA kurang berhasil
diterapkan pada anak-anak ADHD di sekolah atau klinik ADHD. Pertama, masih kurangnya pemahaman
tentang kondisi anak ADHD. Pemahaman yang komprehensif tentang ADHD dan
bentuk-bentuk intervensi ADHD menjadi fondasi bagi keberhasilan penerapan
metode ABA. Dikarenakan mereka mengalami gangguan perilaku, maka perilaku
yang akan diajarkan harus digantikan dengan perilaku-perilaku yang teramati dan
terukur. Kedua, belum banyaknya
tenaga terapis yang menguasai metode ABA. Sesuai dengan ciri khas dari metode
ABA yakni membuat task analysis
(analisis tugas) untuk setiap perilaku yang diajarkan. Untuk itu pelaksanaan
metode ABA harus dilaksanakan dengan memecah keterampilan yang mau diajarkan
menjadi beberapa bagian atau langkah-langkah kecil, yaitu : (1) terstruktur,
yakni pengajaran menggunakan teknik yang jelas; (2) terarah, yakni ada
kurikulum jelas untuk membantu mengarahkan terapi; dan (3) terukur, yakni
keberhasilan dan kegagalan menghasilkan perilaku yang diharapkan, diukur dengan
berbagai cara, tergantung kebutuhan. Artinya, mengajarkan suatu keterampilan
sampai terkuasai, memberi pengulangan, menyediakan prompt (bantuan), menghilangkan ketergantungan dan pemberian reinforcerment
Ada pendekatan khusus dalam menerapkan
metode ABA pada anak ADHD, yaitu materi harus disesuaikan dengan perkembangan
anak. Artinya, keterampilan yang lebih mudah diajarkan lebih dulu. Sedangkan,
keterampilan rumit jangan dulu diajarkan sebelum anak menguasai syaratnya. Untuk
itu ada kelompok khusus keterampilan dan kemampuan yang harus diperhatikan
dalam menerapkan metode ABA pada anak ADHD.
1.
Kemampuan untuk
memperhatikan.
Apabila anak
tidak mampu memperhatikan dalam rentang waktu beberapa menit, ia akan mengalami
kesulitan mencerna pelajaran atau mendengarkan instruksi.
2.
Meniru atau
imitasi.
Pada saat anak
diminta meniru, tidak muncul perkataan apapun dari guru kecuali hanya kata
“tiru”, “lakukan” atau “coba”. Pada posisi ini, anak dituntut melakukannya
seperti yang dicontohkan. Materi imitasi dibagi ke dalam beberapa tahap, yaitu:
imitasi motorik kasar, imitasi motorik halus, imitasi aksi dengan benda,
imitasi suara (sehingga anak belajar berbicara karena diarahkan meniru
kata-kata orang lain), imitasi pola balok (untuk mempersiapkan anak belajar
menulis), sampai imitasi perilaku bermain.
3.
Memasangkan.
Anak dituntut
mengenali sesuatu yang dikelompokkan atas ciri-ciri tertentu. Kemampuan ini
meliputi kemampuan mensortir dan mengerjakan worksheet. Misalnya, piring pasangannya gelas. Instruksi yang
diberikan, “pasangkan”, “cari yang sama”, atau kata-kata lain yang bermakna
sama, sehingga anak mencari pasangan yang diperlihatkan.
4.
Identifikasi.
Anak diminta
menetapkan pilihan dengan memegang, mengambil, atau menunjuk satu dari beberapa
hal. Teknik ini memungkinkan guru memeriksa apakah anak paham berbagai konsep (receptive languange) tanpa bergantung
pada kemampuan bicara. Identifikasi tidak terlalu berbeda dengan labeling, tapi
identifikasi anak tidak dituntut secara ekspresif.
5.
Labeling atau
ekspresi (bahasa pengungkapan). Kemampuan ini memang cukup sulit karena
mengandalkan kemampuan pengungkapan bahasa (expressive
languange). Biasanya anak diminta menjawab pertanyaan, seperti “apa ini?”,
“siapa ini?”, dan “dimana…?”.
Metode Applied Behavior Analysis pada anak ADHD, mesti mendasarkan proses
pengajaran pada pemberian stimulus (instruksi), respon individu (perilaku) dan
konsekuensi (akibat perilaku). Ketika melaksanakan metode ini, guru mesti
konsisten memberikan stimulus, respon dan konsekuensi yang diberikan. Selain
itu, dibutuhkan juga kemampuan (skill),
pengetahuan memadai tentang ADHD dan teknik ABA (knowledge). Terakhir, bersikap baik, optimis dan memiliki minat
perasaan (sense) terhadap anak anak ADHD
sangat menentukan proses pemberian bantuan yang berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar