KARL RAIMUND POPPER DAN FALSIFIKASI
A. Riwayat Hidup Karl Raimund Popper
Karl Raimund Popper lahir di Wina
pada tanggal 21 Juli 1902 dari keluarga Yahudi Protestan. Ayahnya, Dr. Simon
S.C. Popper, seorang pengacara yang meminati filsafat dan masalah sosial. Masa
remajanya di kota Wina merupakan masa yang cukup menentukan arah perkembangan
pribadi dan intelektualnya. Masa pendidikan dilalui selama periode tahun
1920-an di kota tersebut. Popper memulai pendidikan ilmiah formalnya sebagai
murid privat. Bidang-bidang pelajarannya cukup luas, namun Popper lebih
memfokuskan perhatiannya pada bidang matematika dan fisika teoretis. Pada tahun
1925, Popper mengikuti kursus lanjutan di Institut Pedagogi, cabang dari
Universitas Wina dan pada masa itu pula ia bertemu dengan calon istrinya.
Pada tahun 1928, Popper meraih gelar
Doktor dengan judul disertasi: Masalah Psikologi dalam Psikologi Pemikiran.
Popper merasa tidak puas dengan disertasinya dan memilih untuk mempelajari
bidang epistemologi yang dipusatkan pada pengembangan teori ilmu pengetahuan.
Usahanya ini semakin intensif ketika ia berjumpa dengan positivisme logis dari
lingkaran Wina. Popper bukan termasuk dalam lingkaran Wina, sebab dia merupakan
kritikus paling tajam terhadap gagasan-gagasan lingkaran Wina. Popper yang
berdarah Yahudi, harus meninggalkan tempat kelahirannya sebab pada waktu itu
Jerman di bawa penguasanya Hitler telah menduduki tempat itu. Popper pindah ke
Selandia Baru dan mengajar di Universitas Christchurch. Ia pun tidak menetap di
sana, sebab pada tahun1945, ia pindah ke Inggris dan mengajar di London School
of Economics. Popper menginggal dunia pada tanggal 17 September 1994 di London
Selatan akhibat penyakit jantung. Adapun
beberapa karya tulisnya yang terbesar antara lain sebagai berikut: The Poverty of Historicism (1945); The Logic of Scientific Discovery
(1959); Conjectures and Refutations: The
Growt of Scientific Knowledge (1963).
B. Aliran-Aliran dalam Filsafat Ilmu
Filsafat Ilmu Pengetahuan yang kita
kenal sekarang memiliki sejarahnya sendiri yang terus mengalami perkembangan,
didalamnya memperlihatkan adanya perkembangan pemikiran yang sangat dinamis.
C.V. Van Peursen, Kenneth Gallagher, dan C. Verhaak mengakui adanya tahap-tahap
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan setiap tahap memiliki aliran atau kerangka
berpikirnya sendiri, pada umumnya merupakan koreksi dan atau penyempurnaan dari
tahap sebelumnya. Secara garis besar dan kronologis, perkembangan aliran dalam
filsafat ilmu pengetahuan dapat dibagi kedalam empat aliran, yaitu; 1) Rasionalisme,
2) Empirisme dan Positivisme, 3) Rasionalisme Kritis, dan 4) Kontruktivisme.
Pertama, pandangan aliran
rasionalisme menekankan bahwa ilmu pengetahuan sering dipertautkan dengan akal.
Dalam arti sempit, rasionalisme berarti anggapan mengenai teori pengetahuan
yang menekankan akal dan atau ratio, untuk membentuk pengetahuan. Ini berarti
bahwa sumbangan akal lebih besar dari pada sumbangan sumbangan indera. Mengenai
ilmu diketengahkan oleh rasionalisme bahwa mustahillah membentuk ilmu hanya
berdasarkan fakta, data empiris, atau pengamatan.
Kedua, pandangan aliran
empirisme dan positivisme. Pandangan aliran empirisme memberi kelonggaran pada
peranan data kenyataan untuk mengembangkan bahkan mengubah struktur ilmu
pengetahuan. Maka empirisme dalam filsafat ilmu dapat lebih mengindahkan
keharusan selalu mengubah dan mencocokan sistem ilmu dengan data empiris. Dalam
membangun teori, empirisme memiliki siklus yang selalu dimulai dari observasi,
kemudian melahirkan hukum empiris, selanjutnya dibangun teori. Aliran empirisme
berpendapat bahwa induksi sangat penting, karena jalan pikirannya berangkat
dari yang diketahui menuju ke yang tidak diketahui. Karena ilmu pengetahuan
selalu ada unsur rasionalismenya, aliran empirisme mengalami kesulitan dalam
kaidah-kaidah logika dan matematika. Disinilah aliran positivisme muncul untuk
mengatasi masalah tersebut. Data observasi yang diperoleh dapat digunakan untuk
”menghitung”, atau melakukan penjabaran logis dan deduksi, sebagaimana yang
terjadi pada aliran rasionalisme. Dengan demikian, empirisme dan positivisme
memberikan kelonggaran lebih besar kepada masukan dari empiris dalam membangun
ilmu pengetahuan
Ketiga, pandangan aliran
rasionalisme kritis. Seperti penjelasan di atas, aliran rasionalisme dan
empirisme termasuk positivisme merupakan dua aliran yang bertentangan.
Rasionalisme kritis berupaya menghubungkan unsur rasional dan empiris dalam
pengetahuan ilmiah. Dengan demikian ilmu pengetahuan yang dibangun dari proses
induktif, harus selalu terbuka terhadap kritik. Ilmu pengetahuan tersebut
terbuka upaya penyangkalan atau pembuktian salah (falsifikasi) yang secara
terus menerus sehingga dapat lebih dikokohkan (corroborated).
Di samping itu, titik suatu ilmu
terletak pada melihat situasi permasalahan. Lewat proses trial and error dan error
eliminitian, ilmu yang dikembangkan atas permasalahan tadi, dapat
mendekatan kebenaran.
Keempat, pandangan aliran
konstruktivisme yang menekankan pada sifat kontekstual ilmu pengetahuan, yaitu
pentingnya seluruh konteks demi terjadinya suatu sistem ilmiah. Konteks dan
ilmu dapat saling mempengaruhi. Apabila ilmu bertentangan dengan konteks atu
pengalaman, maka tidak berarti bahwa ilmu tersebut runtuh. Dalam hal terjadi
pertentangan dan ketidaksesuasian tersebut, diperlukan terjemahan untuk
memperbaharui sistem ilmu tadi.
Dalam aliran-aliran filsafat di
atas, Popper termasuk aliran rasionalisme kritis, bahkan merupakan perintis
aliran tersebut. Meskipun berkenalan dengan beberapa tokoh dalam lingkaran
Wina, namun ia tidak pernah menjadi anggota lingkaran Wina. Bahkan ia jengkel,
kalau pandangan-pandangannya dikaitkan dengan positivisme logis.
Dari karya-karyanya, terlihat kalau
Popper sangat tidak menyukai pandangan-pandangan yang tertutup, tidak terbuka
terhadap kritikan-kritikan. Baginya, pandangan tertutup tersebut tidak lebih
dari sebuah ideologi, yang diperjuangkan secara fanatik. Kebenaran
atau ilmu yang mendekati kebenaran hanya dapat diperoleh apabila ilmu itu
terbuka terhadap usaha-usaha kritis (falsifikasi).
C. Karl Raimund Popper dan Positivisme
Logis
Positivisme logis adalah aliran
filsafat ilmu yang dikritisi dan ingin disempurnakan oleh Popper dalam aliran
filsafatnya yang disebut rasionalisme kritis. Dalam rasionalisme kritis ini,
terdapat kritik induktivisme dan falsifikasi yang menjadi topik utama tulisan
ini. Oleh karena itu, untuk memahami topik utama tersebut, terlebih dahulu perlu
dibahas positivisme logis.
Keberatan pada aliran rasionalisme
yang menganggap bahwa kebenaran hanya dapat diperoleh melalui rasio dan akal
budi manusia, menjadi salah satu memicu munculnya aliran empirisme. Klimaksnya
terjadi pada abad ke 17 yang jalannya telah dipermulus oleh Renaissance, yang
mendorong terwujudnya revolusi ilmiah. Pada masa tersebut, cara berpikir
berubah secara ekstrim dari melihat dunia yang metafisik ke melihat dunia yang
mekanistis. Di sinilah aliran empiris muncul, dan kemudian pada abad ke 18
positivisme logis mulai berkembang. Dunia atau fenomena sudah mulai dihitung,
dianalisis secara matematis, dan mekanistis.
Positivisme logis dikembangkan oleh
tokoh-tokoh filsafat yang tergabung dalam Lingkaran Wina, antara lain adalah: Moritz Sclick (1882-1936), Hans Hahn (1880-1934),
Otto Nuerach (1882-1945), Hans Reichenbach (1891-1955). Beberapa pandangan
positivisme logis dapat diuraikan antara lain sebagai berikut:
1.
Hanya ada satu sumber pengalaman, yaitu pengalaman, mengenal data-data inderawi.
2.
Berangkat dari pengalaman, dikembangkan metode induksi dalam menyusun suatu
ilmu penegetahuan melalui siklus empiris, yaitu observasi, hukum-hukum empiris,
teori, dan hipotesa.
3.
Selain pengalaman, diakui pula adanya dalil-dalil logika dan matematika
yang tidak dihasilkan lewat pengalaman. Dalil-dalil itu hanya memuat serentetan
tautologi-subjek-predikat saja, yang berguna untuk mengolah data pengalaman
(inderawi) menjadi satu keseluruhan yang meliputi segala data.
4.
Memiliki minat besar untuk mencari garis batas atau damarkasi antara
pernyataan yang bermakna (meanigful)
dan yang tidak bermakna (meaningless).
Oleh karena itu, filsafat tradisional haruslah ditolak karena ungkapan-ungkapannya
melampaui pengalaman.
5.
Ilmu pengetahuan dipandang sebagai logika. Konsekuensinya, Ilmu harus
disusun berdasarkan logika formal, sebagaimana halnya yang dilakukan
Aristoteles.
6.
Tidak ada konteks penemuan (context
of discovery) yang ada hanya konteks pengujian dan pembenaran (context of justification).
D. Karl Raimund
Popper dan Falsifikasi
Popper dalam aliran rasionalisme
kritis berangkat dari ketidaksetujuannya terhadap beberapa gagasan dasar
Lingkaran Wina yang beraliran positivisme logis. Terutama ia sangat menentang
ungkapan yang disebut bermakna (meaningful)
dari yang tidak bermakna (meaningless)
berdasarkan kriteria dapat tidaknya dibenarkan secara empiris. Menurutnya,
karena empiris merupakan peristiwa yang berkelanjutan, maka ungkapan yang
dulunya tergolong meaningless, bisa
jadi sangat meaningful nantinya. Artinya, sangat berbahaya apabila suatu
ungkapan apalagi teori dibuat tertutup dengan menyatakannya meaningless, pada perkembangan fenomena
termasuk pegalaman atau empiris juga terus berlanjut.
Dengan ketidaksetujuannya terhadap
gagasan dasar Lingkaran Wina tersebut, Popper kemudian kembali menghidupkan
aliran rasionalisme, yakni aliran yang mendasarkan penemuan ilmunya pada ratio
atau akal budi manusia. Bedanya dengan aliran resionalisme yang sesungguhnya
bahwa Popper mengkondisikan ilmu pengetahuan masih terbuka terhadap kritik, masih
dapat dibuktikan salah (falsifikasi). Di sinilah letak damarkasi ilmu
pengetahuan. Inilah yang menjadi dasar mengapa aliran yang dipelopori oleh
Popper ini disebut rasionalisme kritis.
Ketidaksetujuannya terhadap gagasan
dan cara kerja positivisme logis, mendorong Popper mengemukan beberapa prinsip
dalam menerangkan esensi dari rasionalisme kritis. Prinsip-prinsip tersebut
antara lain adalah Kritik terhadap Induktivisme, Falsifikasi, Trial and Error dan Corroborated. Masing-masing prinsip ini akan diuraikan sebagai
berirkut:
1.
Induktivisme
Ilmu pengetahuan empiris yang
dihasilkan oleh cara kerja positivisme logis menggunakan cara berpikir
induktif. Cara berpikir seperti ini berangkat dari ‘singular statement’ sebagai hasil dari observasi pengalaman, menuju ’universal
statement’ yang berupa hipotesis atau teori.
Menurut klaim dari positivisme
logis, metode induktif merupakan logika dalam menemukan ilmu pengetahuan (the logic of scientific discovery).
Dalam kenyataannya, siklus positivisme logis dengan metode induktifnya seperti
di atas telah berhasil menambah hasanah ilmu pengetahuan.
Popper melihat adanya kelemahan
dalam metode induktif di atas. Menurut argumentasinya, metode induktif tidak
dapat dipergunakan untuk menyusun universal statement, karena hakekatnya yang
selalu berangkat dari singular statement hasil observasi pengalaman empiris.
2.
Falsifikasi
Pernyataan dan teori yang diperoleh
melalui empiris atau positivisme logis pada akhirnya mutlak harus disimpulkan
apakah pernyataan dan teori tersebut benar atau salah. Artinya, pernyataan dan
teori tersebut harus memiliki kesimpulan akhir (conclusively decidable atau
conclusive verification). Kalau pernyataan dan teori tersebut tidak dapat
mencapai tahap ini, maka keduanya tidak berarti sama sekali.
Untuk mencapai kondisi tersebut,
pernyataan dan teori perlu dites melalui bukti empiris. Kalau hasil tesnya
menunjukkan bahwa pernyataan dan teori tersebut benar, maka disebut verifiability. Sebaliknya, kalau hasil
test empiris tersebut membuktikan bahwa keduanya salah, maka disebut falsiability. Upaya atua tes untuk
membuktikannhya salah disebut falsifikasi. Dengan demikian, sistem tes dalam
ilmu pengetahuan tidak selalu harus berarti positif (membuktikan benar) tetapi
juga harus berarti negatif (membuktikan salah).
Menurut Popper, ciri khas ilmu
pengetahuan adalah falsifiable, artinya harus dapat dibuktikan salah melalui
proses falsifikasi. Dengan falsifikasi, ilmu pengetahuan mengalami prosess
pengurangan kesalahan (error elimination).
Proses falsifikasi inilah yang mengantar ilmu pengetahuan tersebut mendekatai
kebenaran, namun tetap memiliki ciri falsifiable.
Dengan cara falsifikasilah, hukum-hukum
ilmiah berlaku; bukannya dapat dibenarkan melainkan dapat dibuktikan salah.
Dengan cara yang sama, ilmu pengetahuan berkembang maju. Bila suatu hipotesa
telah dibuktikan salah, maka hipotesa itu ditinggalkan dan diganti dengan
hipotesa baru. Kemungkinan lain adalah bahwa hanya salah satu unsur hipotesa yang dibuktikan salah, sedangkan inti
hipotesa lain dapat dipertahankan, maka unsur tadi ditinggalkan dan digantikan
dengan unsur baru. Dengan demikian, hipotesa terus disempurnakan, walaupun
tetap terbuka untuk dibuktikan salah.
3.
Corroboration
Menurut Popper, teori tidak dapat
diverfikasi, tetapi dapat dikoroborasi. Hal ini disebabkan karena teori tidak
dapat dikatakan benar atau salah, tetapi mungkin benar atau mungkin salah.
Teori kemungkinan kemudian disebut logika kemungkinan (probability logic). Di awalinya sistem ilmu yang terbuka, maka
proses falsifikasi terhadap suatu teori atau hipotesa dapat terus dilakukan.
Apabila suatu hipotesis tahan uji atau belum dapat dibuktikan salah, maka
hipotesis tersebut semakin dikukuhkan atau corroborated.
Untuk mencapai kondisi corroborated, suatu hipotesa perlu
diperhadapkan pada serangkaian fakta yang tak terhingga, dengan rentetan
verifikasi yang tak terhingga. Dengan demikian, hipotesa tersebut memiliki kualitas
koroborasi yang tinggi.
E. Kesimpulan
Rasionalisme dan empiris
(positivisme logis) yang merupakan dua aliran yang berada pada dua titik
ekstrim diupayakan untuk dipertemukan dalam aliran rasionalisme kritis yang
dipelopori oleh Popper. Dalam pandangannya, dia melancarkan kritik terhadap
logika induktif yang dipergunakan oleh aliran empirisme dan positivisme logis,
sebagai suatu logika yang tidak dapat mengantar pada teori atau general
statement yang benar. Sebaliknya, logika deduktif yang dipergunakan oleh aliran
rasionalisme dijadikan sebagai logika yang valid dalam menghasilkan teori.
Teori baik hasil logika induktif atau deduktif inilah yang kemudian
difalsifikasi dan dikoroborasi, agar mendekati kebenaran, namun tetap terbuka.
Sebagai filsuf pertama yang mencoba
mensintesakan kedua aliran yang berseberangan tersebut, mungkin logika atau
cara Popper belum begitu sempurna, sehingga masih tetap terbuka. Inilah yang
kemudian dilakukan oleh murid dan filsuf setelahnya seperti Imre Lakatos yang
mencoba menyempurnakan sintesa kedua aliran yang bersebarangan tersebut.
______________________________________________________________
DAFTAR BACAAN
Corvi,
R. 1997. An Introduction to the
Thought of Karl Popper. London: Routledge.
Gattei, S. 2009. Karl Popper’s
Philosophy of Science Rationality
Without Foundations. London: Routledge.
Popper, K.R. 1959. The
Logic Scientific Discovery. New York: Basic Books.
Popper, K.R. 2008. The
Logic of Scientific Discovery. (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
The Liberalism of Karl Popper. Philosophical
Notes No. 9, An occasional publication of the Libertarian Alliance, This
essay first appeared in Government and Opposition, Vol. II, No. 3,
Summer, 1976. John Gray is a Fellow of Jesus College, Oxford.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar