Jumat, 07 Agustus 2015

Ketidakarifan PSB Online*

Oleh: DR. Yuzarion Zubir, M.Psi.
Dosen Psikologi Pendidikan STKIP PGRI Sumatera Barat.


Kepala Sekolah dan Dinas Pendidikan Kota tidak arif menyikapi permasalahan yang muncul akibat Penerimaan Siswa Baru (PSB) Online dari tahun ke tahun.

Mereka bertahan dengan egonya, sebab PSB Online program terbaik penjaringan siswa baru dengan teknologi.
Kasus pengembokan dan penutupan sekolah oleh masyarakat setempat, selalu berulang.
Puncaknya tahun 2015 ini, terjadi penutupan dan pengembokan pagar SMAN 16 Padang, selama lebih kurang 15 hari, oleh warga yang tergabung dalam Forum Masyarakat Anak Nagari (F-KAN) Pauh IX, akibat dari 114 anak kemenakan mereka, tidak lulus PSB Online (hariansinggalang.co.id. diakses 24/7).
Hemat penulis, kasus serupa juga terjadi di Koto Tangah, Bungus Teluk Kabung dan sekolah-sekolah Padang pingir Kota. Sayang tidak terekspos karena jumlahnya kecil.
Sebanyak 114 anak warga sekitar yang tidak lulus, boleh jadi nilainya di bawah standar/grade SMAN 16. Besar kemungkinan mereka adalah anak dengan hasil belajar rendah, miskin, dan tidak mampu.
Dalam permasalahan ini. Disatu sisi, Kepala Sekolah dan Dinas Pendidikan Kota. Usaha mereka dalam membenahi sistem dan kualitas pendidikan melalui PSB Online telah berada pada jalan yang semestinya.
Namun aspek lain, menurut penulis juga harus dipertimbangkan dalam mengambil kebijakan penerimaan siswa baru.
Aspek-aspek yang dimaksud antara lain:

Pertama, latar belakang tempat tinggal calon siswa. Bagi siswa miskin dan tidak mampu, perlu kearifan dan kebijaksanaan khusus, dalam mengawal PSB Online agar anak di sekitar sekolah (dekat lokasi sekolah) dapat diterima.

Berharap kearifan pada teknologi atau komputer/PSB Online, sudah barang tentu tidak akan pernah ada. Sebab, kearifan dan kebijaksanaan milik manusia. Disinilah bentuk kemulian sifat dan keluhuran budi. 
Dalam hal ini tentu kita hanya bisa berharap! tertumpu harapan kepada Kepala Sekolah dan Dinas Pendidikan Kota. Apalagi ditengah lesunya perekonomian nasional. Perekonomian masyarakat kita juga semakin terpuruk.
Bersama kita harus apresiasi, masih ada keluarga miskin dan tidak mampu, berkeinginan menyekolahkan anak seperti di SMAN 16 dan sekolah lainnya.
Tentu mereka yang miskin dan tidak mampu ini, sudah barang pasti mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan hidup, sekalipun itu hanya kebutuhan dasar (makan dan minum).
Beban akan semakin berat, apabila anak mereka bersekolah jauh dari tempat tinggal, ditengah mahalnya biaya transfortasi yang harus ditanggung.

Kedua, bakat dan potensi anak perlu jadi pertimbangan. Sesuai instruksi Pemerintahan Koto, solusi yang ditawarkan untuk 114 anak di tidak tertampung SMAN 16 akan ditempatkan ke filial/kelas jauh SMKN 3, yang akan menempati gedung SDN 35 Kuranji (Padek, 23/7).

Solusi ini juga belum bijak. Dilihat dari titik permasalahan penerimaan siswa baru, tidak mungkin setiap tahunnya Pemerintahan Kota membuka filial/kelas jauh untuk penyelesaian masalah yang sama dari tahun ketahun.
Disisi lain, Kepala Sekolah dan Dinas Pendidikan, bahkan Pemerintahan Kota, terkesan tutup mata dan mengabaikan perbedaan bakat dan potensi anak.
Gardner (1993) menjelaskan sembilan bentuk kecerdasan (multiple intellegences) manusia. Keberagaman anak, akan lahir minat dan bakat berbeda dari individu/anak yang berbeda juga. Tentu hal ini perlu juga menjadi pertimbangkan.
Dalam kasus ini, sangat jelas ruh (kurikulum), visi dan misi pendidikan SMA dan SMK berbeda 180 derajat.
Tiga jurusan yang di buka; Akuntansi, Administrasi Perkatoran, dan Teknik Komputer Jaringan (TKJ), di filial/kelas jauh SMKN 3. Belum tentu sesuai dengan bakat dan minat 114 anak yang tidak tertampung di SMAN 16.
Dalam hal ini, tentu Kepala Sekolah dan Dinas Pendidikan perlu meninjau ulang keputusan ini dan rasanya sangat perlu melibatkan tim ahli/pakar, seperti psikolog pendidikan untuk menggali bakat dan minat serta potensi anak.
Jangan sampai solusi ini hanya untuk meredam emosi sesaat, sementara mengorbankan masa depan sebahagian anak yang tidak berbakat dan berminat di SMK. Boleh jadi, sebahagian lagi akan diuntungkan.
Anak yang bersekolah (belajar) tidak sesuai bakat dan minat. Kecenderungan belajar tidak sungguh, motivasi belajar rendah dan malas serta tidak akan bergairah dalam belajar dan sebagainya.

Ketiga, kearifan budaya dan latar belakang beridirinya sekolah. Karena keelokan dan kearifan budaya setempatlah sebagahagian besar dapat berdiri sekolah-sekolah di Sumatera Barat dan Kota Padang, khususnya SMAN 16.

Masyarakat ingin perubahan, anak-anaknya bisa bersekolah dan bekerja layak. Bahkan ada janji tidak tertulis, saat pendirian sekolah, pihak sekolah akan mengutamakan pendidikan anak-anak sekitar lokasi sekolah, harapan itu, seolah-olah pupus karena maslah PSB Online (teknologi).
Kalau begitu, kedepan dalam pendirian sekolah baru, syah-syah saja masyarakat harus membuat kesepakatan hitam di atas putih (perjanjian). Agar hak-hak anak-anak mereka terlindunggi hukum dan tidak lagi tersingkirkan (terabaikan).

Keempat, bersekolah wajib dan dilindunggi Undang-Undang. Sangat tegas dan jelas hak bersekolah di lindungi.  

Amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945).  Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat menyatakan Pemerintah Indonesia bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kemudian dipertegas dalam BAB XIII Pasal 31 ayat (1): setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan.
Lebih lanjut Pasal 34 ayat (1) menjelaskan: fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara Negara.
Berdasarkan UU ini, jelas sekali hak seluruh warga Negara untuk mendapatkan pendidikan. Apalagi fakir miskin dan anak terlantar, mereka berdomisili sekitar sekolah.
Sudah seharusnya Kepala Sekolah dan Dinas Pendidikan Kota, setiap tahun ajaran baru, menetapkan keputusan, merakit  ulang teknologi, meninjau program PSB Online, membuat alokasi khusus calon siswa baru untuk anak-anak berdomisili di sekitar sekolah, miskin dan tidak mampu (berprestasi belajar rendah).
Saran sederhana, bisa dalam bentuk penetapan kebijakan berkisar 1 sampai 2 kelas atau 10 sampai 20 persen setiap tahun dari total penerimaan siswa baru.
Sebagai contoh, dari total rencana penerimaan 300 siswa baru di satu sekolah, maka ditetapkan 30 sampai 60 siswa/anak berasal dari warga sekitar, miskin dan tidak mampu tersebut.
Agar hak-hak mereka yang berdomisili di sekitar sekolah, miskin dan tidak mampu terfasilitasi karena keelokan dan kearifan hati pemangku kebijakan.
Semoga saja dengan saran ini, ketidakarifan bisa berubah menjadi kearifan, tahun depan tidak adalagi permasalahan yang sama berulang. Selamat tahun ajaran baru!

*Sumber Harian Singgalang, Kamis 30 Juli 2015 hal. A.9