Jumat, 24 Februari 2012

Filsafat Ilmu


HIPOTESIS BERGANDA DAN REVOLUSI ILMIAH
Oleh:
I Wayan Tirka, Yuzarion dan Dedy Haryono

Pendahuluan
Hipotesis  dalam pengertian yang lebih umum diartikan sebagai jawaban sementara terhadap masalah yang masih bersifat praduga karena masih harus dibuktikan kebenarannya. Tetapi tentunya  tidak semua pernyataan atau dugaan disebut dengan hipotesis. Dugaan atau pernyataan disebut sebagai hipotesis bila perntayaan tersebut memiliki kekuatan dalam memprediksi kebenaran yang dibangun melalui hasil pengamamatan, dan hukum-hukum yang telah dihimpun sebelumnya,   pernyataan tersebut memiliki kekuatan untuk mendekati kebenaran.  Dengan pendekatan logic,  hipotesis mempunyai kandungan tentatif terhadap sebuah pernyataan ilmiah. Kandungan tentantif ini yang kemudian memberikan ruang untuk mengikuti alur ilmiah atau yang disebut dengan pengujian hipotesis.
Karena hipotesis merupakan hasil dari berfikir logis yang mengikuti runutan dan arah tertentu, maka hipotesis harus diuji dan dikembangkan melalui alur ilmiah atau metode ilmiah. Sejauh mana pernyataan hipotesis tentang sesuatu dapat menerangkan fenomena spesifik yang teramati, dengan kenyataan realitas yang ada.
Hipotesis Berganda
Dalam lapangan ilmu pengetahuan, tidak ada pernyataan yang tak dapat diuji dan diamati, karena ilmu pengetahuan adalah prosedur penemuan dan evaluasi hipotesis yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa hal-hal seperti itu dapat terjadi. Inilah pembatas yang  membedakan  dengan pernyataan agama (misalnya) yang memiliki sifat menjadi pernyataan mutlak. Karena lapangan pengetahuan ilmiah mewajibkan pada sesuatu yang bisa di uji atau empiris, tetapi agama lebih menekankan pada keyakinan (beliefs). Penjelasan ilmiah adalah proposal tentatif, yang ditawarkan dengan harapan dapat menangkap akurasi terbaik pada materi tetapi tunduk pada evaluasi, modifikasi, atau bahkan menjungkir-balikkan ketika ada lawan hipotesis berbeda yang memiliki bukti yang lebih kuat. Kehandalan dapat terjadi ketika melalui rangkaian pengujian dan hipotesis semakin menunjukkan nilai prediksi terhadap realitas dengan kuat (testability). Termasuk kemungkinan juga membandingkan hipotesis yang berbeda dan terlibat dalam penjelasan bersaing dari sebuah peristiwa yang sama.
Hipotesis berganda berangkat dari asumsi bahwa sebuah nilai prediksi memiliki kekuatan terhadap peristiwa maupun situasi yang lain. Misalnya tentang pernyataan tentang tingkat pendidikan orang tua terhadap motivasi belajar anak. Dalam aspek yang lain mungkin hipotesis tentang tingkat pendidikan orang tua memilliki daya untuk memprediktif situasi lain, misalnya terhadap kecerdasan emosional anak. Ragamnya kekuatan prediksi terhadap situasi yang lain akan semakin menunjukkan akan nilai kekuatan sebuah hipotesis. Walaupun disini bukan kemudian satu cara untuk mendekati pernyataan universal. Karena pernyataan universal dalam sebuah hipotesis ditujukan pada situasi tertentu yang berlaku universal.
Ada beberapa kriteria bagi hipotesis untuk di evaluasi sebagai bentuk pernyataan ilmiah dan memiliki keandalan dalam pernyataannya:
1.     Relevansi. Mengandung nilai premis dari sebuah argumen deduktif yang kesimpulannya valid dan sesuai untuk dijelaskan. Struktur hipotesis memiliki relevansi terhadap kenyataan dan yang dipandang paling kuat dan mungkin.
2.     Testability. Dapat dibuktikan atau telah dibuktikan dengan metode ilmiah, sehingga hipotesis dapat didudukkan sebagai yang telah konfimasi atau disconfirmation. Testability merupakan salah satu langkah bahwa sebuah hipotesis telah melalui falsifikasi. Bahkan melalui falsifikasi sebuah hipotesis dapat dijungkir balikkan menjadi sebuah pernyatan yang tidak ilmiah, karena diakibatkan dari hasil pembuktian yang kemudian tidak mendukung sebuah hipotesis. Ukuran dari sejauh mana hipotesis telah berpredikat sebagai yang testability bahwa pernyataan telah dibuktikan dan sesuai serta semakin terasing dari pernyataan yang metafisis. Selain bahwa testability yang kemudian memberikan peringkat nilai kekokohan pada sebuah hipotesis.
3.     Compatibility. Nilai sebuah Hipotesis harus sesuai dan memenuhi prinsip urutan alamiah. Sebuah hipotesis berdiri dan terus tumbuh untuk menyempurnakan dan memperluas pohon pengetahuan. Banyaknya penyelidikan ilmiah yang berangkat dari berbagai rangkaian hipotesis. Menjadi satu pertimbangan dalam meng-compability dalam sebuah hipotesis baru. Walaupun bentuk ini tidak kemudian menjadi mutlak, karena mungkin dan bisa saja sebuah hipotesis yang baru dapat mengurangi atau meruntuhkan hipotesis yang lama jika memiliki tingkat signifikansi yang lebih tinggi atau yang lebih sesuai ketika kesimpulannya memiliki bukti yang lebih kuat. Revolusi ilmiah dapat terjadi, tanpa harus patuh pada nilai compability.
4.     Prediktif. Sebuah hipotesis yang baik adalah bukan hanya suatu cara untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa tunggal, tetapi akan berlaku untuk banyak jenis situasi, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa asumsi ini yang kemudian melahirkan adanya hipotesis berganda atau multiple hypotesis. Seperti pernyataan Vygotsky tentang lingkungan dan bantuan orang dewasa. Perkembangan kognitif dipengaruhi multiple aspek yaitu lingkungan dan orang dewasa. Kekuatan prediktif ini menggambarkan bahwa peristiwa tunggal tidak hanya diakibatkan oleh peristiwa tunggal. Tetapi ada kekuatan lain yang memprediksi bahwa peristiwa tunggal dipengaruhi oleh beberapa situasi yang lain (jamak).
5.     Simplicity. Hipotesis merupakan sebuah pernyataan yang memiliki kerumitan dalam struktur pernyataan. Sebuah pernyataan memiliki kesederhanaan dan kekuatan yang mendalam. Istilah yang sering digunakan oleh filosuf  adalah ”keanggunan yang mendalam dan martabat” dengan menggunakan karakter yang sederhana. Sebuah hipotesis dinyatakan dengan kesederhaanya dan dapat dipahami, disamping didalamnya mengandung kekuatan yang luar biasa yaitu usaha prediksi. Sebab-akibat dapat dinyatakan dengan jelas sebagai sebuah pernyataan universal terhadap peristiwa-peristiwa tertentu.

Revolusi Ilmiah
Ilmu yang matang selalu memiliki paradigma dan penalaran ilmiah yang berjalan menurut standar-standar ilmiah. Paradigma adalah cara pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau praktik ilmiah konkret. Paradigma ini membimbing kenyataan ilmiah dalam masa ilmu normal, di mana para ilmuwan herus menjabarkan paradigma secara rinci dan mendalam. Para ilmuwan tidak berskap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Dalam aktivitas ilmiah bisa dijumpai banyak fenomena yang tidak dapat dijelaskan oleh paradigma atau teori yang membimbing aktivitas ilmiah para ilmuwan bersangkutan. Fenomena-fenomena yang tidak dapat dipecahkan oleh paradigma yang membimbing para ilmuwan melakukan aktivitas ilmiah tersebut disebut dengan anomali.
Bila terjadi semakin banyak anomali, berarti muncul krisis, disini  paradigma yang digunakan perlu dipertanyakan, atau paradigma tersebut perlu diganti dengan paradigma baru. Bila sudah terjadi demikian, para ilmuwan sudah keluar dari sain normal. Untuk keluar dari krisis para ilmuwan dapat meninggalkan cara-cara ilmiah lama, atau menemukan paradigma tandingan untuk mengantisipasi anomali-anmoli yang dihadapi. Apabila  para ilmuwan masih tetap bersikukuh mempertahankan paradigma lama, berarti ilmu masih tetap pada tatanan normal, tetapi, bila para ilmuwan menemukan dan menggantikan dengan paradigma tandingan, maka muncul apa yang disebut revolusi ilmiah.
Sain yang normal melakukan kegiatan pemecahan masalah melalui kegiatan yangat kumulatif, walaupn berhasil dalam tujuannya, namun satu produk standar dari kegiatan ilmiah ini tidak ada. Sain yang normal tidak mampu menunjukkan kebaharuan-kebaharuan fakta atau teori, dan jika berhasil tetap tidak menemukan hal-hal tersebut.  Pada kegiatan sain normal, banyak dietemukan kemacetan-kemacetan, kriteria yang sama sekali tidak tergantung pada apakah kemacetan itu diikuti oleh  revolusi. Jika dihadapkan kepada anomali atau kepada krisis, para ilmuwan mengambil sikap yang bebeda terhadap paradigma-paradigma yang sudah ada, dan sifat-sifat kegiatan ilmiah yang dilakukan berbeda dengan paradigma-paradigma yang ada. Bertambah banyaknya artikulasi yang bersaingan, kesediaan untuk mencoba apapun pengungkapan ketidak puasan yang nyata, semuanya merupakan gejala transisi dari riset yang normal kepada riset istimewa.
Pada saat sain normal, para ilmuwan tetap menggunakan paradigma lama untuk melakukan aktivitas ilmiah, sehingga perkembangan sain berjalan secara komulatif dan evolusioner. Untuk memecahkan anomali-anomali pada sain normal para ilmuwan seharusnya meninggalkan paradigma lama, dan menggantikan dengan paradigma yang baru. Dalam hal ini sain tidak lagi berkembang secara kumulatif-evolusioner, tetapi perkembangan sain menuju nonkumulatif-revolusioner.
Revolusi ilmiah merupakan istilah yang dikemukakan oleh Thomas Kuhn dalam tulisan yang terbit tahun 1970 The Structure of Scientific Revolutions. Dalam buku ini Kunh membahas peranan paradigma, untuk menjelaskan perkembangan ilmu yang nonkumulatif,  secara revolusioner, seperti teori Opticks karya Newton, yang mengajarkan bahwa cahaya adalah partikel yang sangat halus. Transformasi-transformasi paradigma optika  ini adalah revolusi sain, dan transisi yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lain melalui revolusi adalah pola perkembangan yang biasa bagi sain yang telah matang.
Kuhn mengkritisi pendekatan Karl Popper pada filsafat ilmu pengetahuan,  Kuhn menganggap bahwa Popper menjungkir-balikkan kenyataan dengan terlebih dahulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesis, baru disusul dengan upaya falsifikasi. Menurut Kuhn perkembangan ilmu pengetahuan harus berguru pada sejarah ilmu. Karl Popper justru menempatkan sejarah ilmu pengetahuan sebagai contoh untuk menjustifikasi teorinya.
Pendapat Popper dibantah oleh Kuhn dengan mengajukan sejarah ilmu sebagai titik awal segala penyelidikan. Terjadinya perubahan-perubahan mendasar dalam sejarah ilmu justru tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah satu teori atau sistem, melainkan melalui revolusi-revolusi ilmiah. Singkat kata, Kuhn berpendapat kemajuan ilmiah pertama-tama bersifat revolusioner bukan maju secara kumulatif.
Istilah populer yang lekat dengan Kuhn adalah paradigma. Istilah itu sendiri tidak dijelaskan secara ajeg oleh Kuhn sehingga dalam sejumlah penjelasannya acapkali berubah konteks dan arti. Paradigma sendiri muncul terkait dengan kajian sains normal. Kuhn berpendapat sains normal merupakan praktik ilmiah nyata yang diterima publik, baik mencakup dalil, teori, penerapan, dan instrumentasi. Sains normal menyajikan model-model yang melahirkan tradisi-tradisi tertentu dari riset ilmiah. Dengan kata lain, sains normal adalah kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun praktik-praktik ilmiah dalam periode tertentu.
Paradigma membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, di mana ilmuwan berkesempatan mengembangkan penyelidikan secara rinci dan mendalam. Dalam tahap ini ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Namun, selama menjalankan riset ilmuwan bisa menjumpai pelbagai fenomena yang yang tak sepenuhnya sama. Hal itu disebut anomali. Bila anomali itu kian menumpuk, maka bisa menimbulkan krisis.
 Dalam krisis paradigma mulai dipertanyakan oleh  ilmuwan dan mulai  keluar dari sains normal. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing penelitian berikutnya. Bila pilihan terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi ilmiah.
Pandangan Kuhn telah menarik perhatian kita pada fakta bahwa para filosuf ilmu umumnya tidak menghiraukan persoalan hermeneutik yang pokok, seperti persoalan tentang apa yang sebenarnya dilakukan oleh seorang ilmuwan. Mereka biasanya malah sibuk dengan urusan tentang kriteria mana saja yang perlu, agar ilmu dapat dianggap representasi murni realitas atau keyakinan yang telah teruji. Kuhn mengingatkan kita bahwa ada soal penelitian dalam rasionalitas ilmiah itu yang sebetulnya sangat ambigu.
Baginya rasionalitas ilmiah itu akhirnya bukanlah semata-mata perkara induksi atau deduksi atau juga rasionalitas demonstratif yang berkulminasi pada representasi teoritis kenyataan obyektif melainkan lebih dari perkara interpretasi dan persuasi yang cenderung bersifat subyektif. Oleh karena itu segala yang dikatakan oleh ilmu tentang dunia dan kenyataan sebetulnya erat terkait pada paradigma tertentu yang digunakan oleh ilmuwannya. Cara ilmuwan memandang dunia menentukan dunia macam apa yang dilihatnya. Jadi pengetahuan ilmiah sama sekali bukanlah jiplakan atau foto kopi realitas, melainkan realitas hasil konstruksi manusia.

Revolusi ilmiah merupakan episode perkembangan sain yang nonkumulatif, di mana di dalamnya paradigma lama diganti seluruhnya dengan paradigma baru yang bertentangan. Mengapa perubahan paradigma disebut revolusi? Kunh memebri contoh, revolusi politik dibuka oleh kesadaran yang semakin tumbuh, yang sering terbatas pada suatu segmen dari masyarakat politik, bahwa lembaga-lembaga politik yang ada tidak lagi memadai untuk menghadapi masalah-masalah yang dikemukakan oleh lingkungan yang sebagian diciptakan oleh lembaga-lembaga itu. Dengan cara yang sama revolusi sain terjadi karena kesadaran para ilmuwan  semakin tumbuh, bahwa paradigma yang ada tidak lagi berfungsi secara memadai dalam eksplorasi suatu aspek dari alam, yang sebelumnya paradigma itu sendiri yang menunjukkan jalan bagi eksplorasi tersebut. Mungkin dalam pendidikan di Indonesia pernah terjadi perubhan paradigma, dari siswa mempejari menjadi penguasaan kompetensi. Apakah ini dapat disebut revolusi dalam pendidikan?
Revolusi politik dan revolusi sain dapat kita lihat keduanya menunjukkan kesejajaran, keduanya dimulai dengan munculnya kesadaran akan adanya malfungsi yang dapat menyebabkan krisis, dimana hal itu menyebabkan timbulnya revolusi.
Teori Kuhn memiliki dampak yang sangat luas dalam bidang-bidang keilmuan yang beraneka ragam. Selama lebih dari dua dekade gagasan Kuhn tentang paradigma menjadi bahan diskusi dalam wacana intelektual, sejumlah kajian kritis, baik yang mendukung maupun yang menentang, berkembang dalam berbagai kancah disiplin keilmuan, hampir semua cabang keilmuan menyampaikan respon lewat berbagai versi yang dianggap cukup mewakili nuansa pemikiran yang selama ini berkembang dalam disiplin ilmu masing-masing. Paradigma sebagai kosakata, menjadi wacana tersendiri, baik pada tingkat teori maupun praksis. Paradigma seolah menjadi sesuatu yang hidup, tumbuh dan berkembang sedemikian rupa, sehingga penggagasnya sendiri seperti kebingungan untuk menjinakkannya.
Penutup
Perkembangan ilmu menurut Kuhn harus belajar dari sejarah ilmu, dan menggunakan paradigma sebagai pedoman untuk mengembangkan ilmu. Kuhn mengkritik Poper, dimana Poper justru menempatkan sejarah ilmu pengetahuan sebagai contoh untuk menjustifikasi teorinya. Perkembangan ilmu menurut Kuhn sebaiknya berjalan nonkumulatif dan revolusioner.
Revolusi ilmiah terjadi karena semakin banyak terjadinya anomali, yaitu keadaan atau permasalahan yang tidak dapat diantisipasi atau dipecahkan dengan paraadigma lama. Untuk memecahkan anomali tersebut ilmuwan dituntu berpaling atau meninggalkan paradigma lama, dan menggantikannya dengan paradigma baru.
Dan bahwa paradigma yang mendasari konstruksi itu diterima oleh komunitas para ilmuwan, bukan karena ilmuwan itu tahu bahwa itu benar, melainkan karena mereka percaya bahwa itu yang terbaik, yang paling menjanjikan bila digunakan dalam riset-riset selanjutnya. Akhirnya, walau bagaimanapun penilaian orang, Kuhn telah berjasa besar terutama dalam mendobrak citra filsafat ilmu sebagai logika ilmu dan mengangkat citra bahwa ilmu adalah suatu kenyataan yang punya kebenaran seakan-akan sui-generis, obyektif.
Pandangan  Kuhn mempunyai implikasi yang sangat luas dalam bidang-bidang keilmuan yang beraneka ragam. Selama lebih dari dua dekade gagasan Kuhn tentang paradigma menjadi bahan diskusi dalam wacana intelektual, sejumlah kajian kritis, baik yang mendukung maupun yang menentang, berkembang dalam berbagai kancah disiplin keilmuan, hampir semua cabang keilmuan menyampaikan respon lewat berbagai versi yang dianggap cukup mewakili nuansa pemikiran yang selama ini berkembang dalam disiplin ilmu masing-masing.
Paradigma sebagai kosa kata, menjadi wacana tersendiri, baik pada level teori maupun praksis. Kata tersebut seolah menjadi sesuatu yang hidup, tumbuh dan berkembang sedemikian rupa, sehingga penggagasnya sendiri seperti kebingungan untuk menjinakkannya.


DAFTAR  RUJUKAN
A, MacIntyre, 1967. Popper, Karl Raimund The Encyclopedia of Philosophy, Edited by Paul Edwards,(New York: The Macmillan Company and The Free Press. 
Noeng Muhadjir. 2001. Filsafat Ilmu, Positivisme, PostPositivesme, dan PostModernisme. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Konrad Kebung. 2011. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Khun, Thomas S. 1970. The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The Univesity of Chicago Press.
Popper, K.R. 1959. The Logic Scientific Discovery. New York: Basic Books.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar